Rabu, 17 Februari 2016

Marketing politik

Judul
Partai keadilan sejahtera(mobilisasi kader dalam strategi pemenangan dede s.ip pada pemilihan umum legislative di dapilI kota tasikmalaya)
BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah
partai politik menurut geovani sartori(1976)adalah”suatu kelompok yang mengikuti pemilihan umum dan,melalui pemilihan umum itu,mampu menempatkan calon calonya untuk menduduki jabatan jabatan fublik.”dengam kata lain tujuan utama didirikanya partai politik adalah untuk menguasai pos pos pemerintahan dengan jalan yang konstitusional sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Penguasaan akan jabatan jabatan fublik sangatlah diperlukan bagi partai politik dikarenakan dengan adanya penguasaan partai politik terhadap jabatan fublik atau jabatan politik,partai politik dapat menjalankan visi,misi dan program partainya melalui serangkaian regulasi dan kebijakan yang di formulasikanya.
Untuk menduduki jabatan jabatan funlik atau politik partai politik harus saling bersaing dengan partai politik lainya yang memiliki ideology,visi,misi dan program partai yang berbeda satu sama lainya.Hal ini sesuai dengan definisi partai politik menurut Sigmund neuman (1963)yaitu “organisasi dati aktivis aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yan gmemiliki pandangan yang berbeda”
Persaingan antara partai politik untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat dalam penilihan umum tidak bias dibiarkan begitu saja tanpa strategi pemenngan pemilu,terlebih akhir akhir ini masyarakat sebagai konsetuen cenderung apatis dan fragmantis .dilain pihak masyarakat juga semakin cerdas dan kritis dalam mentukan sikap dalam berpolitik.partai politik dituntun memiliki visi,misi dan frogram yang nyata bagi masyarakat,dan untuk menyampaikan itu semua diperlukan mangmen pemasaran yang tepat dan cermat yang berkesan di tengah masyarakat.managmen pemasaran partai poltikdan kandidat politik dikenal dengan istilah marketing politik .
Marketing politik itu sendiri menurut firmansyah (2007) adalah “seperangkat metode yang dapat mempasilitasi kontestan(partai politik dan individu)dalam melaksanakan inisiaitif politik,isu politik,ideology politik,dan program kerja partai kepada masyarakat.”
Marketing politik menjadi salah satu kunci sukses pemenangan partai pada pemilu,dimana produk produk partai politik baik itu kandidat politik,visi,misi dan program kerja partai dan produk politik lainya di manage sedemikian rupa sehingga menarik perhatian dan simpati masyarakat dengan berbagai perhitungan matematis mulai dari positioning,degmentasi,demografi,focus dan aspek lainya penunjang pemenangan pemilu.dan semua yang terkait pada marketing politik tersebut terutama positioning merupakan upaya patai politik melalui tim suksesnya dalam menciptakan image atau citra politik yang jelas (distinct) baik bagi partai maupun kandidat politik bagi masyarakat sebagai konsetuen.
Image politik sendiri bisa dibangun melalui dua konsep pertama,bagaimana seseorang atau partai politik bertindak atau berprilaku politik dimasa lalu yang menghasilkan citranya selama ini dan kedua bagaimana partai politik dan seseorang akan bertindak dimasa depan dengan serangakian program dan janji yang akan memberikan harapan dan kesan politik bagi pencitraanya.
Dari sekian banyak partai politk yang menerapkan srtategi marketing politik ini adalah PKS yang memiliki citra islami dan bersih”meskipun akhir akhir ini terjerat kasus”.PKs sebagai partai kader tentunya harus bekerja ekstra keras dalam memasarakan produk politiknya.hal ini berbeda dengan partai masa pada umumnya,yang hanya berorientasi pada jumlah masa atau simpatisan,dimana hubungan antara partai politik dan konsetuen hanya terjalin sebatas pada masa kampanye dan pemilu.
Partai kader justru lebih mempokuskan pada pendidikan politik yang berkesinambungan dan memiliki hubungan yang tetap terjalin meskipun pemilu telah usai.akan tetapi PKS sebagai partai kader juga diharuskan untuk dapat memobilisasi masa khususnya pada masa kampanye dan pemilu sebagai wujud eksistensi partai dalam pemerintahan.pada pemilihan umum legislative kota tasikmalaya tahun 2014 PKS merefresentasikan kader partainya di DPRD sebanyakempat orang,yaitu Heri Ahmadi SPdI (PKS, 2.188) Dede S.IP (PKS, 2.275) Parid (PKS, 1.257) Dede Muhamad Muharam (PKS, 1.872) jumlah kursi ini sama dengan perolehan pemilihan umum legislative di tahun 2009,hal ini memberikan kesan bahwa partai kader (pks) cenderung statis dan dukungan dari kader dapat dikontrol dengan baik oleh partai tersebut.
PKS sebagai partai kader juga kerap kali menggunakan strategi pemenangan pe,ilu melalui mobilisasi kader dan simpatisan sebagai mesin penggerak partai atau tim sukses dalam pemilu,dengan model marketing politik berupa “direct selling” atau door to door ke masyarakat langsung.direct selling ini dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan mengenai visi misi partai,program partai dan memperkenalkan kandidat calon anggota DPRD serta tata cara pencoblosan yang sah menurut KPU dengan mencoblos kandidat partai ataupun gambar partai sebagai simulatornya,yang menarik dari direct selling ini para kader sebagi tim sukses tidak memaksa pada target pemilih untuk mencoblos salah satu kandidat mereka diberikan kebebasan untuk mencoblos siapa saja dalam kolom partai PKS.
Dari uraian latar belakang diatas mengenai peran marketing politik sebagai salah satu strategi pemenangan pemilu,khususnya keberadaan PKS sebagai partai kader yang cenderung ekslusif dan statis dalam perolehan kursi di DPRD kota tasikmalaya ini,maka penulis tertarik untuk mengankat kasus ini menjadi sebuah tulisan penelitian tugas mata kuliah marketing politik dengan judul” partai keadilan sejahtera(mobilisasi kader dalam stratgi pemengan pemilu dede s.ip pada pemilihan umum legislatip di dapil III kota tasikmalaya tahun 2014)”
Bab ii
Kajian teori
Marketing politik menurut firmansyah (2007) adalah “seperangkat metode yang dapat mempasilitasi kontestan(partai politik dan individu)dalam melaksanakan inisiaitif politik,isu politik,ideology politik,dan program kerja partai kepada masyarakat
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
http://belajar-komunikasi.blogspot.co.id/2010/12/pengertian-budaya-politik.html
1. Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif [Almond dan Verba, h. 20]. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.

Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.

http://setabasri01.blogspot.co.id/2009/02/budaya-dan-sosialisasi-politik.html

. Budaya Politik Kaula

Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya politik kaula/subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan.

Budaya politik kaula/subjek memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya. Namun, perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa telah adanya otoritas dari pemerintah. Posisi kaula/subjek tidak ikut menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk memengaruhi atau mengubah sistem.

Dengan demikian, secara umum mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Bahkan, rakyat memiliki keyakinan bahwa apa pun keputusan/ kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubah-ubah atau dikoreksi, apalagi ditentang. Prinsip yang dipegang adalah mematuhi perintah, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijakan penguasa.

Budaya Politik Partisipan

Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif.

Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya dapat dikatakan tinggi. Ciri-ciri dari budaya politik partisipan adalah sebagai berikut.
Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya.
Warga tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapidapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri.
Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik.
Masyarakat menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.
Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti halnya penjual danpembeli. Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri.

http://www.zonasiswa.com/2014/11/tipe-tipe-budaya-politik.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PANCASILA DAN BERBAGAI DEFINISI

Review Buku Kaelani klik link dibawah ini  https://docs.google.com/document/d/142IaPq55EThm5V0yfzz-dE0drDFMDc2Lfn9UcIib330/edit?usp=sh...