Soeharto dan Tradisionalisme Jawa
dari rizkibulsarra"s weblog
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“tidak
ada studi mengenai politik Indonesia – yang boleh melewatkan Presiden
Soeharto sebagai seseorang yang telah mendominasi kehidupan nasional
Indonesia selama 30 tahun”. [1] Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk menulis pemikiran Soeharto.
Kebudayaan
Jawa mempunyai pengaruh bagi Soeharto dalam menjalankan
pemerintahannya. Soeharto sangat dipengaruhi oleh akar budayanya yang
berasal dari Kemusuk, Jawa Tengah.
Hampir
sepanjang hidupnya Soeharto tampak tidak tertarik dan juga acuh dengan
politik. Namun, ia akhirnya menjadi seorang yang menguasai politik di
Indonesia. Dalam menguasai politik di Indonesia dan juga mempertahankan
kekuasaannnya, ia menggunakan sistem patronase atau disebut bapakisme. [2]
B. Tujuan
Tujuan
penulisan ini adalah memberikan sedikit gambaran mengenai pemikiran
Soeharto yang dipengaruhi oleh Tradisionalisme Jawa. Kekuasaan yang
bersifat patronase merupakan suatu ciri dari pemerintahan Orde Baru yang
dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dalam makalah ini penulis ingin
mengkaji hubungan sistem patronase yang terjadi di masa orde baru dengan
beberapa pemikiran tradisionalisme Jawa.
C. Sistematika Penulisan
Pengumpulan materi dalam makalah ini dilakukan melalui studi literatur dan melalui penelusuran media elektronik (internet).
D. Kerangka Teori
Dalam
makalah ini penulis menggunakan Teori Patronase Politik. Menurut Vicent
Lemieux, Teori Patronase Politik adalah teori yang mengatakan bahwa
patronase adalah suatu dipensasi dari suatu keberhasilan, seperti
pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian-pembagian atau hal-hal lain
yang mempunyai berharga yang berasal dari seorang patron (seseorang
yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya, rekanan
tersebut akan memberikan suatu penghargaan yang sama atau senilai,
seperti memilih partai Patron atau menyumbang sejumlah uang ataupun
sejumlah pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan umum.
Hubungan antara Patron dengan rekanannya mempunyai tipikal tidak
seimbang dan selektif.
Teori
yang digunakan selanjutnya adalah teori Ben Anderson yang mengungkapkan
konsep kekuasaan Jawa. Konsep kekuasaan Jawa mempunyai ciri-ciri
seperti: 1. Kekuasaan bersifat Konkrit. 2. Kekuasaan bersifat Homogen.
3. Kekuaasan tidak mempersoalkan keabsahan. 4. Kekuasaan di alam semesta
tetap.
II. ISI
Teori
Patronase Politik patronase adalah suatu dipensasi dari suatu
keberhasilan, seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak,
pembagian-pembagian atau hal-hal lain yang berharga yang berasal dari
seorang patron (seseorang yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya.
Sebagai gantinya, rekanan tersebut akan memberikan suatu penghargaan
yang sama atau senilai, seperti contohnya memilih partai patron atau
menyumbang sejumlah uang ataupun sejumlah pekerja untuk diperkerjakan
dalam kampanye pemilihan umum.
Budaya
membangun suatu rekanan di era Soeharto, merupakan salah satu contoh
sistem patronase. Dalam hal ini, atasan dan bawahan seperti halnya
hubungan patron-client. Oleh karena itu, seorang bawahan harus pada suatu waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah pengarem-arem atau upeti. [3]
Padahal, sebenarnya budaya patronase merupakan salah satu pemikiran
luhur Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian memberikan
sebagian rezekinya kepada atasan. Karena pada saat itu, atasanlah yang
memberi tanah garapan.
A. Latar Belakang Soeharto
Soeharto
dilahirkan di desa Kemusuk, Jawa Tengah. Sebagai orang Jawa, ia sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang cukup kental. Sejak kecil Soeharto
hidup miskin dan hidup dalam kesukaran. Penderitaan hidup membuatnya
tabah dan tahan dan juga berhati-hati untuk bergantung dengan orang lain
dalam banyak hal. Ia juga lebih menyukai hubungan dekat dengan beberapa
orang saja di mana ia menjadi tokoh dominannya. Penderitaan materiil
dan emosional Soeharto di masa kecil dan masa muda membentuk pemikiran
yang introspektif dan mandiri, atau apa yang disebut McIntrye ‘autarki
emosional’; “saya selalu ingat pengalaman dan kesusahan di masa kecil,”
Soeharto kelak berujar, “dan sebab itu saya menekankan pentingnya “tepa
selira” (hendaknya meraba pada diri sendiri)” [4]
Sifat inilah yang menyebabkan Soeharto dalam memecahkan masalah dan
kebingungan dengan melihat ke dalam dirinya sendiri, bukan melihat ke
luar.
Soeharto
bukanlah seperti Syahrir yang mempunyai “ratusan buku anak-anak dan
Novel Belanda” ataupun mempunyai kalimat yang menyerupai Soekarno, bahwa
“waktuku habis untuk membaca. Ketika anak-anak lain bermain, aku
belajar. Aku mengejar pengetahuan jauh di luar pelajaran biasa.” [5]
Soeharto adalah orang yang sederhana namun juga kompleks. Secara
intelektual, wawasannya sempit dan sederhana, hal ini disebabkan oleh
pendidikannya yang terbatas. Ia juga tidak mempunyai kebiasaan membaca,
merenung ataupun membuat suatu teori.
Gaya
pemikiran Soeharto ditandai oleh perenungan, penghitungan dan
penguasaan batin (“mendekatkan batin kita dengan pencipta kita”) [6]
yang menampakkan dirinya dalam aturan-aturan moral maupun praktis
tertentu. Struktur kepribadian dan emosinya, susunan kerangka
berpikirnya, serta persepsinya tentang makna dan arah historis memang
sangat dipengaruhi oleh adat dan kepercayaan Jawa. [7]
Banyak
contoh mengenai sifat Kejawaan dari Soeharto, seperti ia mewakili sosok
lama era para raja kuno Jawa yang terpengaruh oleh konsep-konsep feodal
kuno. Secara sadar ataupun tidak, ia tampaknya berupaya mereorganisasi
Indonesia yang modern menjadi seperti kerajaan Jawa, baik dalam bentuk
dan juga semangatnya. [8]
B. Patronase dalam Pemikiran Tradisionalisme Jawa
Pengertian
patronase pada budaya Jawa, adalah sebagai bentuk pengabdian seorang
bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak hal kepadanya.
Bila
kita merunut pada Teori Ben Anderson mengenai kekuasaan dapat kita
lihat bagaimana Soeharto terpengaruh oleh pemikiran Jawa mengenai
kekuasaan. Menurut teori Ben Anderson, di Jawa, kekuasaan memiliki
ciri-ciri seperti: 1. Kekuasaan itu konkrit, artinya kekuasaan itu
adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada pada benda-benda
seperti batu, tanah, air, dan api. Bila menurut pemikiran Barat
kekuasaan harus orang dengan orang baru dikatakan kekuasaan. Dalam
kekuasaan Jawa tidak ada garis yang tegas antara zat organik dan zat
anorganik. Sumber dari kekuasaan adalah adil kodrati. 2. Kekuasaan itu
Homogen, kekuasaan itu sama sumbernya (adil kodrati, Sang Pencipta). 3.
Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Contohnya ketika Mataram Lama
masih berjaya, mereka membangun bangunan-bangunan monumental. Karena
rakyatnya tidak senang dengan kerajaannya, rakyat Mataram Lama pindah ke
Jawa Timur dan terjadi akumulasi kekuasaan. Dengan adanya kerajaan di
Jawa Timur maka kerajaan Mataram Lama makin merosot. 4. Kekuasaan di
alam semesta selalu tetap. Karena kekuasaan bukan hasil dari interaksi.
Dan juga karena Alam Semesta tidak bertambah luas dan sempit.
Kekuasaan
Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat
dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). [9]
Oleh karena itu raja berhak mengambil keputusan apa saja termasuk
keputusan ia untuk melakukan apapun untuk kerajaannya termasuk yang ada
di dalamnya yang berarti termasuk hidup manusia di dalam kerajaannya.
Dengan demikian bila raja menginginkan sesuatu maka ia akan dengan mudah
mendapatkan apa yang ia inginkan dan ketika ada orang yang tidak mau
memberikan apa yang diinginkan sang raja maka ia akan diperangi.
Sehingga dengan keadaan seperti demikian rakyat akan takut dan tunduk kepada raja.
Namun dalam konsep kekuasaan Jawa, seorang pemimpin dalam berkuasa harus diimbangi oleh beberapa sikap seperti berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta (berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil kepada siapa saja dan adil dengan penuh kasih sayang). [10]
Raja yang baik harus dapat menjaga keseimbangan antara kewenangan yang
besar dengan kewajiban yang besar pula. Tugas raja adalah membuat dan
mempertahankan agar negara tata titi tentrem, negari ingkang panjang punjung-punjung pasir wukir lohjinawi gemah ripah karta tur raharja
(negara yang aman tenteram, terkenal dengan kewibawaannya, luas
wilayahnya ditandai oleh pegunungan dan laut sebagai wilayahnya, di
depannya terhampar sawah luas dan sungai yang selalu mengalir). [11]
Sistem politik kerajaan sering disebut sistem politik patrimonial atau monarchy. [12] Dalam hal ini raja sebagai penguasa dan juga pengayom seperti halnya peran bapak dalam keluarga. Oleh karena itu, hubungan pengayom dengan pengayem (atau orang yang dilindungi oleh pengayom) seperti hubungan patron dengan client. Di dalam sistem ini bapak sangat menentukan dan semua orang berusaha agar menjadi anak buah yang baik dan taat.
Untuk
menjadi anak buah yang baik dan taat kadang-kadang anak buah melakukan
perbuatan yang tidak seharusnya. Misalnya dapat kita simak sepenggal
kata-kata dari R Ng Ranggawarsita bahwa: “Sing sapa ngerti ing panuju, prasat pageri wesi.” (Barangsiapa yang mengerti tujuan atau kehendak seseorang, seperti ia berpagar besi) [13]
Bila kita artikan maksud dari perkataan dari R Ng Ranggawarsita adalah
bila ada bawahan (anak buah) yang dapat membuat senang atasannya, dengan
sikap mundhuk-mundhuk, nun inggih sendika dhawuh atau kalau perlu mengelabui atasan, maka ia akan disenangi oleh atasannya.
C. Sistem Patronase dan Penerapannya di Masa Presiden Soeharto
Sistem
patronase di masa kepemimpinan Soeharto terdiri dari orang-orang yang
cukup dekat dengannya. Kita dapat melihat keterampilan Soeharto dalam
membangun dan memelihara mesin patronase yang rumit dan memastikan bahwa
pelaku dalam Orde Baru secara terkompromikan dan berutang budi
kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Hal ini
dicapai melalui pembagian uang minyak secara profesional yang dikelola
oleh Ibnu Sutowo, dan melalui alokasi piawai peluang-peluang bisnis.[14]
Ketika mereka yang tidak puas akan kebijakan dan kepemimpinannya yang
kemungkinan akan menjadi masalah baginya, mereka pelan-pelan digeser ke
bidang-bidang yang memberikan status serta peluang bisnis yang sulit
mereka tolak.
Dalam hal ini, dapat kita hubungkan dengan salah satu budaya Jawa yakni belantik (dagang sapi) yang sebetulnya budaya ini adalah budaya tawar menawar agar terjadi kesepakatan (harmonisasi)[15]. Namun budaya ini telah disalah artikan dengan tawar menawar jual beli kekuasaan.
Perilaku
para politisi tersebut berdampak pada timbulnya praktek korupsi. Budaya
Gotong Royong yang sebetulnya adalah budaya Jawa yang luhur tetapi kembali
disalah artikan oleh para politisi Orde Baru. Budaya gotong royong di
masa orde baru menjadi budaya bergotong royong dalam tutup-menutupi
kesalahan dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pejabat-pejabat
negara. Contohnya saja kasus Udin (wartawan harian Berita
Nasional-Bernas) yang terkait dengan Sri Roso Sudarmo (Mantan Bupati
Bantul, Yogyakarta) sampai saat ini tidak jelas kapan akan selesai.
Dengan
sistem patronasenya pula, Soeharto dapat menghancurkan lawan-lawan
politiknya. Para lawan politiknya yang tidak bisa disuap harus menyadari
bahwa mereka akan menanggung hukuman yang cukup berat. Hal ini dapat
dicontohkan dengan dalam memerangi lawan-lawan politiknya (seperti A. H.
Nasution, Mokoginta, M. Jasin, Hugeng, Ali Sadikin, Mohammad Natsir,
Burhanudin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara-dalam Petisi 50), ia
selalu berhati-hati dengan pertama-tama mengucilkannya sehingga lawan
politik tersebut tidak mampu memperoleh dukungan dalam jumlah yang
besar. Hal ini akan membuat lawan politiknya tidak dapat berbuat banyak
dan akhirnya pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinannya akan
hilang dengan sendirinya.
III. KESIMPULAN
Sistem
Patronase dalam budaya Jawa, yang mempunyai arti bentuk pengabdian
seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak hal
kepadanya. Namun hal tersebut telah salah dipraktekkan dalam masa Orde
Baru. Seorang bawahan yang taat dan patuh kepada
atasannya, oleh atasannya dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan
dirinya sendiri.
Bila
kita lihat teori kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk
mempengaruhi untuk mempengaruhi orang lain, sehingga tingkah laku orang
tersebut akan mengikuti orang yang mempengaruhinya.
Kekuasaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan atau
kepentingan-kepentingan kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan
yang mengikat, dan jika ada perlawanan akan diberikan sanksi. Korupsi
model Orde Baru yang menekankan pada kepentingan kolektif, sebagai
akibat sistem patronase adalah ciri politik Orde Baru, ciri yang sangat
dekat dengan kolusi dan upeti.
Pemimpin
dalam suatu negara dapat dikatakan seperti raja. Raja dalam konteks
pemikiran Tradisionalisme Jawa, memiliki kekuasaan yang terpusat
padanya. Sama halnya di era Soeharto dimana ia menjadi presiden Republik
Indonesia, ia memiliki kekuasaan yang dapat dikatakan hampir tiada
batas. Namun, di dalam pemikiran Jawa, kekuasaan tersebut harus
diimbangi oleh sikap-sikap yang berbudi luhur, mulia, adil dan penuh
kasih sayang. Hal inilah yang dilupakan oleh Soeharto ketika ia
berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Zainuddin. Soeharto Mengapa Kekuasaannya dapat Bertahan Selama 32 Tahun?. Jakarta: FISIP UI Press, 2005.
Elson, R. E. Soeharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005.
Endaswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakarawala, 2006.
Gayo, Iwan. Buku Pintar Seri Senior. Jakarta: Pustaka Warga Negara, 2004.
Purwadi, M. Hum. Panembahan Senopati. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006.
_______Hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2005.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Roeder, O.G., Anak desa: biografi presiden Soeharto. Jakarta: Gunung Agung, 1976.
_______The smiling general: President Soeharto of Indonesia, edisi revisi kedua. Jakarta: Gunung Agung, 1976
[1] Ramage, Politics in Indonesia, hal. 4.
[2] Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta, 2003), hal. 156.
[3] Endaswara, Op. cit, hal. 158.
[4] R. E. Elson, Soeharto: Sebuah Biografi Politik (Jakarta, 2005), hal. 37.
[6] Soeharto, Pikiran, hal. 235.
[7] Elson, op. cit., hal. 582. Contoh dari pemikiran Soeharto dengan menggunakan istilah-istilah Jawa dapat dilihat dalam “Laporan
stenografi amanat Presiden Soeharto pada malam ramah-tamah dengan
pengurus KNPI, tanggal 19 Juli 1982 di Jl. Cendana No. 8, Jakarta” (yang
diberikan dari Ken Ward kepada R. E. Elson)
[8] Mody, Indonesia under Suharto, hal. 132; Schwarz, A Nation in waiting, 1994, hal. 278.
[9] Endaswara, Op. Cit., hal. 169.
[11] Ibid.
[14] Elson, op. cit., hal. 590.
[15] Endaswara, op. cit., hal. 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar