. Budaya Politik Jawa
Budaya politik menurut Almond dan Verba dalam Afan Gaffar (2000, h.99) adalah sikap individu terhadap sistem poltik dan komponen komponennya, serta sikap individdu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem poltik. Budaya politik merupakan orientasi psikologis terhadap objek sosial, yang menyangkut sistem politik dan kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam sbentuk orientasi yang bersifat cognitive, affective dan evaluative.
Orientasi kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya seperti lambang, kepala, ibu kota negara dan lain sebagainya. Sedangkan orientasi afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki individu terhadap sistem politik (feelings). Orientasi evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam memberikan penilaian terhadap sistem politik.
Dari pembahasan sebelumnya telah di kemukakan tradisi sikap orang jawa terkait dengan pelaksanaan politik. Sikap yang di anut masyarakat tersebut dapat mempengaruhi budaya politik di Jawa. Bagi masyarakat Jawa kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarnya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Ada 3 budaya politik yang di tangkap penulis merujuk dari buku Politik Indonesia karangan Afan Gaffar yaitu Hierarki, Patronage, Neo-Patrimonalistik.
. 1. Hierarki
Masyarakat jawa pada dasarnya bersifat hierarkis karena kekuasaan itu berasal dari satu sumber maka bersifat konstan. Dan selama sumber kekuasan itu masih memberikan kekuasaan maka kekuasaan itu akan tetap legitimate dan tidak perlu di persoalkan. Stratifikasi sosial di Jawa biasanya didasarkan pada akses kekuasaan bukan didasrkan pada atribut sosial. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara yang mempunyai kekuasaan yang di sebut kaum priyayai dengan kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan yang di sebut wong cilik. Dari status sosial itu mempengaruhi cara berekpresi seseorang memlalui gaya bahasa dengan tingkatan bahasa kromo sampai ngoko.
.2. Patronage
Menuarut James Scott patronage adalah sebagai pola hubungan patron-client. Dalam hubungan patronage terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau hubungan timbal balik dengan mempertukarakan sumber daya (exchange of resources) yang dimiliki oleh masing masing pihak. Pihak patron biasanya memiliki kekuasaan, kedudukan, jabatan, perlindunan atau materi berupa kekayaan, tanah dan uang. Semantara client hanya memiliki sumber daya berupa tenaga dan loyalitas. Biasa saja dalam hubungan patronage terdapat middleman/brooker yaitu oarang yang menjadi perantara antara patron dengan client.
Budaya politik Jawa jaman dahulu yang bersifat patronage terjadi pada kalangan priyayi dari keluarga keraton. Jaman dahulu Jawa masih di jajah oleh kerajaan belanda dan bersifat sentralis, segala urusan di pegang oleh gubernur jendral. Kalangan priyayi memiliki kekuasaan, jabatan dan materi dapat menyekolahkan seseorang ke Belanda dengan bekerjasama dengan orang Belanda untuk kemudian mereka yang di sekolahkan dapat menjadi bupati pada jaman itu. Dalam terapannya setelah menjadi bupati, bupati tersebut harus mendukung kemajuan keraton.
Pada masa sekarang pun hubungan patronage seperti ini masih sering di jumpai, terlebih lagi saat pemilihan umum presiden, gubernur ataupun pemilihan bupati. Untuk menduduki kursi tertinggi suatu tempat di perlukan dukuang yang memadai dari berbagai kalangan seperti dari partai, pengusaha, tokoh-tokah dan lain sebagainya. Yang perlu di garis bawahi adalah dukungan itu tidak gratis, akan ada semacam bentuk pengembalian materi dalam bentuk pemberian kekuasaan, kebijakan ataupun proyek-proyek. Bentuk perpolitikan seperti itu tidak hanya terjadi di Jawa saja tetapi juga di daerah lain kebanyakan juga seperti itu.
.3. Neo-Patrimonialistik
Patrimonialistik yang di kemukakan Weber memiliki sejumlah karateristik. Pertama kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seseorang penguasa kepada teman-temanya. Kedua, kebijaksanaan sering kali lebih bersifat partikularistik daripada bersifat unifersalistik. Ketiga, rule of law merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder bila dibangdingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (rule of man). Keempat, kalangan penguasa politik sering kali mengaburkan kepentingan umum.
Karateristik seperti ini dapat kita temui secara jelas pada saat rezim orede baru, gubernur Jawa Tengah pada masa itu, Soewardi membangun rumah dinas super mewah senilai 7,5 M rupiah. Kemudian proyek kuningisasi semua instansi sampai pohon-pohon di pinggir jalan. Demikian juga promosi jabatan, seseoarang camat yang telah memenangi golkar melebihi target akan mendapat promosi jabatan.
Sekiranya hal hal tersebut adalah yang terjadi pada masa itu. Pada masa sekarang keadaan budaya perpolitikan di Jawa sudah lebih baik seiring dimulainya pelaksanaan otonomi daerah dengan pengelolaan manajemen yang berorientasi good governance. Pengelolaan manajeman daerah meliputi aspek perencanaan, pemrogaman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan pengendalian. Untuk mewujudkannya harus di dukung dengan pemerintahan yang reinventing goverment yaitu salah satunya adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar