Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sosial. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 September 2017

hasil seleksi administrasi cpns kemenkumhan sarjana S1 2017 batch 1

 dikarenakan server sccn yang down dan over load maka untuk alternatif melihat hasil seleksi administrasi cpns kemenkumham 2017 batch 1 dapat diakses di link berikut
https://drive.google.com/file/d/0B90-wrPyKEh8R2MzcTVTZjlyTGc/view?usp=sharing
sumber https://www.facebook.com/BKNgoid/?hc_ref=ARQUrkIBGPLt4WVg2ZYfN-3vBwDh54YirYzYUunJ6vEl0pAqvEMz_f1YqtEIWz24_S8&fref=nf diakses tanggal 6 septemeber 2017 jam 10.35


Minggu, 01 November 2015

Peran Pembisik Elit Pesantren Dalam Formulasi Peraturan Daerah (Perda) no. 7 Tahun 2014 Mengenai Tata Nilai Religius Kota Tasikmalaya

Judul:Peran Pembisik Elit Pesantren Dalam Formulasi Peraturan Daerah (Perda) no. 7 Tahun 2014 Mengenai Tata Nilai Religius Kota Tasikmalaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesantren pada dasarnya lahir dan berkembang ditengah masyarakat sebagai sebuah medium antara kiyai dan santri,dimana kiyai diyakini sebagai orang atau tokoh yang mengerti dan faham semua urusan agama,sosial,culture dan nilai nilai yang berkembang di tengah masyarakat(baik dan buruk),sedangkan santri diposisikan sebagai bagian dari masyarakat yang awam terhadap urusan agama dan bermukim dipondok pesantren sebagai upaya menuntut ilmu agama,sosial culture dan nilai nilai yang kelak bermanfaat baik dari dimensi agama maupun kemasyarakatan. Cara pandang masyarakat khususnya santri yang demikian,secara tidak langsung disadari atau tanpa disadari telah melahirkan pengkultusan bahwa sosok kiyai yang banyak mengetahui dan memahami semua dimensi keagamaan sebagai manusia purna yang suci dan anti dosa(insan kamil)akibatnya setiap tindakan dan ucapan kiyai harus dipatuhu tidak terkecuali sikap ta’jim terhadap kiyai. Keberadaan pesantren pada awalnya hanya terbatas pada dimensi otestik(keagamaan)dan selebihnya hanya menilai baik burujnya sosioculture masyarakat,akantetapi seiring berjalanya waktu dan kondisi sosial terlebih munculnya kolonialisme di nusantara memicu reaksi dari elit pesantren terhadap segala bentuk kolonialisme,terutama adanya prasangka dan kekwatiran kaum ulama terhadap tujuan kedatangan kolonialisme yang mengusung gagasan 3G(gold,glory dan gospel). Sikap akan kekwatiran para kiyai ini diartikulasikan dalam bentuk resistensi terhadap kolonialisme dengan jalan perlawanan baik fisik maupun psikis.perjuangan dan pemikiran melawan kolonialisme terus di gelorakan demi tegaknya syariat dan kebebasan menjalankan agama sekaligus counter attack terhadap subculture 3G kolonialisme,dengan kata lain pesantren mulai memainkan perananya dalam politik kebangsaan. Perjuangn dan pemikiran elit pesantren dalam politik kebangsan ini mulai meminimalisir gave antara dimensi otestik dan dimensi profane,hal ini membuktikan bahwa permasalahan agama dan agamam memiliki relevansi yang erat terhadao eksistensi umat dan tidak bisa di lepaskan begitu saja tanpa control dan “fatwa”. Dinamika pesantren dan negara(politik) tidak hanya berhenti pada masa kolonialisme,jauh dari itu kepentingan elit pesantren dan negara mencapai titik kulminasi disaat terjadinya arbitrase antara tokoh pesantren yang menginginkan daulah islamiyah dengan tokoh nasionalisdalam perumusan dasar dasar konstitusi negara yang terdapat dalam konstitusi pancasila atau piagam jakarta. Kekalahan barganing power dan position elit pesantren dalam pormulasi konstitusi negara ini menjadi triger terhadap munculnya sikap ekstrimisme faham islam militan (legal ekslusive) yang menginginkan terbentuknya negara syariat islam,dan hal ini pula yang menjadikan alergi terhadap ideologi islam dikalangan nasionalis dan moderat. Meskipun demikian eksistensi elit pesantren “ideologi islam “khususnya yang terfersonapikasikan dalam refresentasi partai politik masyumi dan NU kerap kali menunjukan barganing position dan power ,hal ini nampak pada elektabilitas partai tersebut yang mampu menempati posisi 4 besar di pemilu era soekarno.hal ini pula yang menjadi cikal bakal lahirnya ideologi nasakom sebagai instrumen politik soekarno dalam mempertahamkan eksistensi kepemimpinanya,dilain pihak ideologi nasakom justru menjadi titik awal sentimen negatip elit islam terhadap legitimasi soekarno yang mulai ke “kiri-kirian”. Memasuki era soeharto,ideologi islam khususnya partai politik masyumi dan pecahanya mulai teralienasi dan terdiskriminasi bahkan prtai masyumi dibekukan karena dianggap subversif.sikap alergi terhadap partai berideologi islam tergambar jelas pada peristiwa “fusi” peleburan partai partai islam yang direfresentasikan kedalam PPP dengan monoideologi yaitu pancasila.hal serupa juga terjadi pada pesantren yang pada awalnya memiliki control kuat terhadap masyarakat maupun negaramulai di cooptasi oleh soeharto dan dijadikan instrumen politik melalui “political culture”terlebih adanya khitahh pada muhtamar NU yang menghendaki para kiyai untuk kembali kepesantren tanpa berjuang di kancah politik praktis dan politik struktural. Pasca reformasi euforia kebebasan berserikat dan berpendapat dalam demokrasi dirasakan juga oleh pesantren,elit elit pesantren seakan turut berkompetisi dalam politik praktis dan struktural,terlebih dengan adanya desentralisasi yang memungkinkan daerah memiliki otonomi dalam mengurus pemerintahanya sendiri menjadi angin segar bagi elit pesantren dalam menerapkan nilai nilai keislaman (syariat)dalam regulasi peraturan daerah,ditengah kekalahanya selama ini dalam membentuj negara syariat. Formulasi perda syariat ini bukan hanya dilakukan oleh elit pesntren yang menjadi kepala daerah akan tetapi juga menjadi suatu perwujudan dari deal deal politik antar kepala daerah dengan elit pesantren yang menjadi vote gatter dalam terpilihnya kepala daerah tersebut. Keberadaan pesantren dan elit pesantren dikota tasikmalaya sengatlah berpengaruh terhadap perilaku politik dan budaya politik masyarakat tasikmalaya terutama pemilih tradisional.eksistensi elit pesantren sebagai tokoh yang kharismatik kerap kali menghasilkan deal deal politik antar elit pesantren dan kepala daerah terpilih.diantara deal deal politik tersebut adalah diterbitkanya perda syariah di kota tasikmalaya saat kepemimpinan syarief.pada masa kepemimpinan syarief ini dikeluarkan perda no / tentang tata nilai kota tasikmalaya dan hal ini diyakini sebagai deal politik antara sayarief dan elit pesantren dalam pemenangan pemilu. Hal serupa juga terjadi pada masa kepemimpinan budi dede perda mengenai tata nilai religius kota tasikmalaya dalam perda no 7 tahun 2014 mengisyaratkan bahwa eksistensi elit pesantren selalu berada dibalik kesuksesan kepala daerah dalam pemengan pemilu. Elit elit pesantren seakan memainkan peran penting dalam formulasi setiap kebijakan yang berhubungan langsung dengan tata cara dan nilai yang berkembang dimayarakat,hal ini tidak terlepas dari cita cita pendahulu pesantren kususnya ditasikmalaya yang menginginkan daulah islamiyah. Melihat dinamika yang terjadi antara pesantren dan politik diatas khususnya keberadaan elit pesantren di kota tasikmalaya yang kerap kali terlibat dalam deal deal politik dan selalu menghasilkan perda syariah di setiap pergantian pemimpin daerah sangat menarik untuk dikaji baik dari segi literatur maupun realitas emperis.untuk menjawab ketertarikan tersebut penulis bermaksud menyusun masalah ini dalam tulisan yang berjudul”peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius di kota tasikmalaya” 1.2 Rumusan Masalah dari uraian latarbelakang diatas maka untuk dapat menjawab persoalan yang terjadi perihal dinamika pesantren dan politk,penulis merummuskan permasalahan ini dengan fokus:bagaimana peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no7 tahun2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya? 1.3 Batasan masalah Mengingat kompleknya permasalahan maupun kepentingan antara pesantren dan politik yang terjadii akhir akhir ini,terlebih adanya dinamika persepsi dan pen dekatan yang beragam antara antar pesantren itu sendiri terhadap negara/politik,maka untuk memperjelasdan memberikan gambaran yang utuh,penulis hanya memfokuskan pada peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai di kota tasikmalaya dan membatasinya pada teori sistem menurut david eston. 1.4 Tujuan penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan diatas penyusunan penelitian ini bertujuan untuk bisa menjawab persoalan mengenai bagaimana peran pembisik eit pesantren dalam formulasi perda nomer 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya sekaligus dapat menyelesaikan tugas penelitian mata kuliah pesantren dan politik 1.5 Manfat penelitian Dengan disusunya tulisan mengenai penelitian ini,penulis berharap apa yang disajikan oleh penulis lewat penelitian ini bisa bermanfaat baik dari dimensi teoritis maupun praktis. (a) Manfaat teoritis Dari dimensi teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai hubungan pesantren dan politik yang kerap kali terlihat harmonis dengan romantisme elit elit pesantren yang bersinggungan dengan politik praktis,pollitik struktural maupunn politik cultural.dan lebih jauhnya bisa dijadikan reverensi atau pembanding antara teori diakademi dan realita empiris yang terjadi sebenarnya di tataran kehidupan bermasyarakat. (b) Manfaat praktis Adapun dari dimensi praktis diharapkan penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi praktisi politik maupun elit elit pesantren dalam menjalankan perananya sebagai aktor di masing masing peran yang dijalankanya sehingga bisa berjalan sesuai dengan koridor dan etika yang seharusnya dilakukan sebagai aktor. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Peran Menurut Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 55), teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan” (h. 143). Lebih lanjut, Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 56) mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception (Kahn, et al., 1964; Oswald, Mossholder, & Harris, 1997 dalam Bauer, 2003: 58) Scott et al. (1981) dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu: 1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya, bukan individunya. 2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu. 3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity) 4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa perubahan perilaku utama. 5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran. 2.2 Definisi Pembisik Artikata pembisik dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai orang yang membisikan sesuatu kepada orang lain dan orang yang berugas membisikan apa yang harus dikatakan oleh pemailain dalam sandiwara. Dari definisi diatas dapt disimpulkan bahwa pembisik adalah orang orang mampu mempengaruhi pemikiran dan pendapat seseorang baik itu tokoh fublik,pejabat,maupun lainya secara diam diam yang cenderung sangat dekat secara personal dengan orang tersebut dan biasanya seorang pembisik itu mampu menguasai informasi 2.3 Teori elit menurut mills ( ) ellit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranata pranata utama dalam masyarakat.dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. 2.4 Model Formulasi Kebijakan Dan Teori Sisitem Menurut Thomas R. Dye ( 1995 ) ada 9 model dalam merumusakan kebijakan publik. 1. Model Kelembagaan Formulasi kebijakan dengan model ini bermakna bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas pemerintah (lembaga legislatif ). Jadi apapun yang dibuat pemerintah adalah kebijakan publik.Dye membenarkan model ini karena 3 alasan : 1) pemerintah memang lembaga yang sah dalam membuat kebijakan 2)fungsi pemerintah universal 3) pemerintah punya hak monopoli fungsi pemaksaan. Kelemahan pendekatan ini adalah terabaikannya masalah lingkungan tempat diterapkannya kebijakan karena pembuatan kebijkan tidak berinteraksi dengan lingkungan. 2. Model Proses Politik adalah sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. proses yang diakui dalam Model proses ini adalah sebagai berikut : a. Identifikasi Permasalah b. Menata Agenda Formulasi Kebijakan c. Perumusan Proposal Kebijakan d. Legitimasi Kebijakan e. Implementasi Kebijakan f. Evaluasi kebijakan Matrik dari Charles O Jones dapat anda temukan DISINI 3. Model Kelompok Model kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan ( equilibrium ). Disini beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentk kebijakan secara interaktif ( Wibawa, 1994,9) 4. Model Elit Berkembang dari teori elit masa dimana masayakat sesungguhnya hanya ada dua kelompok yaitu kelompok pemegang kekuasaan (elit ) dan yang tidak memegang kekuasaan. kesimpulannya kebijakan yg muncul adalah bias dari kepentingan kelompok elit dimana mereka ingin mempertahankan status quo. Model ini tidak menjadikan masyarakat sebagai partisipan pembuatan kebijakan. 5. Model teori Rasional Pengambilan kebijakan berdasarkan perhitungan rasional. Kebijakan yang diambil adalah hasil pemilihan suatu kebijakan yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Disini terdapat cost-benefit analysis atau analisa biaya dan manfaat. Rangkaian formulasi kebijakan pada model ini : a. Mengetahui preferansi publik dan kecenderungannya b. Menemukan pilihan pilihan c. Menilai konsekuensi masing masing pilihan d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien 6. Model Inkremental Model ini adalah kritik dari model rasional, karena tidak pembuat kebijakan tidak cukup waktu, intelektual dan biaya. Dengan model pemerintah menurut dengan kebijakan dimasa lalu yang dimodifikasi. Kesimpulannya Kebijaka inkremental adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahannkan kinerja yagn telah dicapai. 7. Model Teori Permainan Gagasan pokok dari kebijakan dalam model teori permainan adalah : a. Formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif b. Para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependen Kunci memenang kebijaka dalam model ini adalah tergantung kebijakan mana yang tahan dari serangan lawan bukan yang paling optimum. So defensif 8. Model Pilihan Publik Model ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. ( Publik Choise) Secara umum model ini adalah yang paling demokratis karena memberikan ruang yang luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Namun terkadang kebijakan yang diambil adalah kepentingan dari pendukung suatu partai maka dari itu pemuasan yang diberikanpun hanya sepihak yaitu pada pemilih. 9. Model Sistem David Easton model sistem secara sederhana dapat dilihat seperti input-proses-output. Kelemahan Model sistem adalah keterfokusan hanya pada apa yng dilkakukan pemerintah namun lupa tentang hal yang tidak dilakukan pemerintah. Sementara itu menurut David Easton (1984:395) teori sistem adalah: suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah). Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut: 1. Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi. 2. Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat). 3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output) 2.5 Definisi Peraturan Daerah(Perda) pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut : Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. BAB III METODE PENELITIAN 2.6 Pendekatan Atau Jenis Penelitian Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik penelitian ekploratif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan terlebih dahulu atau mengembangkan hipotesis untuk penelitian lanjutan,penelitian eksploratif perlu mencari hubungan gejala gejala sosial ataupun fisik untuk mengetahui bentuk hubungan tersebut. 2.7 Lokasi penelitian Tempat atau lokasi penelitian mengenai peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 ini akan dilaksanaka di kota tasikmalaya dengan fokus dan lokus penelitian terhadap MUI dan elit pesantren yang memiliki peranan yang kuat(barganing position dan power) terhadap pemerintah 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua data yaitu: a) Data primer yaitu data yang diusahakan atau didapatkan langsung oleh peneliti Data ini di dapat melalui metode wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpulan data terhadap narasumber. Narasumber dalam penelitian ini adalah MUI,elit pesantren yaang memiliki kedekatan dengan pemerintahan dan anggota komisi DPR yang bersangkutan dengan formulasi kebijakan ini. selain itu juga dilakukan melalui observasi yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi(situasi,kondisi b) Data sekunder yaitu data yang didapat dari orang atau instansi lain baik dari dokumentasi maupun data penunjang lainya . 3.4 Analisis Data Metode dalam analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan model analisa interaktif yang digunakan selama proses penelitian. Menurut Miles dan Huberman (Usman dan akbar Setiady, 2011 : 85-88) dalam teknik ini ada tiga komponen pokok analisa, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi. 1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transpormasi data “Kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengtode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan lain sebagainya dengan maksudmenyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengategorisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi. 2. Penyajian Data Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersususn yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualiatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semua dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA https://jodenmot.wordpress.com/2012/12/29/teori-peran-pengertian-definisi/ diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.00 wib http://taufiknurohman25.blogspot.co.id/2011/04/teori-sistem-david-easton.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.30 wib http://k uliahadministrasinegara.blogspot.co.id/2013/12/model-perumusan-kebijakan-publik.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.50 wib

Senin, 29 Juni 2015

tugas pemberdayaan anak jalanan di kota tasikmalaya





Judul : Peran Rumah Singgah Dalam Memberdayakan Anak Jalanan Di Kota Tasikmalaya
A.    Latar Belakang  Masalah
indonesia sebagai negara demokrasi yang berazaskan hukum sebagai fondasi tertingginya,telah diamanti oleh konstitusi untuk dapat melindungi segenap tumpah darah indonesia.
Lebih jauhnya dalam undang undang dasar  pasal 34 ayat 1 di maktubkan bahwa fakir,miskin,anak terlanar dipelihara oleh negara,artinya negara harus hadir dan mampu menjamin akan kebutuhan dasar baagi fakir miskin,anak terlantar melalui serangkaian kebijakan yang mampu memberikan rasa terayomi .
Kebijakan pemerintah khususnya dalam menangani permasalahan anak terlantar seyogyanya harus difahami secara holistik,dimana negara memposisikan anak terlantar sama halnya dengan seperti anak anak normal pada umumnya,yaitu mendapatkan hak sipil,kemerdekaan berpendapat beragama,lingkungan, keluarga,kesehatan,pendidikan,jaminan sosial,dan pekerjaan yang layak.
Permasalahan anak terlantar pada faktanya dari waktu ke waktu semakin komplek dan kuantitasnya semakin bertambah seiring arus moderenisasi yang tidak disertai dengan daya kreatifitas dan kompetisi .imflikasinya anak anak jalanan semakin menjamur dipusat perkotaan,tidak terkecuali kota tasikmalaya dari penjuru pertokoan,trotoar sampai lampu merah banyak terdapat anak jalanan yang mengais rejeki disana.
Menjamurnya fenomena anak jalanan di  kota tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari peranan dinas sosial dalam menangani permasalahan sosial khususnya anak jalanan.pemkot tasikmalaya melalui dinas sosial seakan membiarkan permasalahan ini berlarut-larut bahkan berujung terbengkalai.oleh karena itu kami mencoba untuk meneliti perihal kinerja pemkot dalam menanggulang permasalahan anak jalanan,khususnya melalui peranan rumah singgah sebagai kepanjangan tangan dinas sosial dalam memberdayakan anak jalanan.
B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas,kami mencoba merumuskan permasalahan kompleksitas anak jalanan ini dengan lebih mengeksplor mengenai peranan rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan di kota tasikmalaya
C.    Batasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan permasalahan anak jalanan di kota tasikmalaya,dalam penelitian ini kami terfokus pada peran pemberdayaan  rumah singgah kota tasikmalaya dengan objek penelitian terhadap anak-anak jalanan dengan rentan usia 15 sampai 17 tahun yang tidak memiliki hubungan dengan sekolah(tidak sekolah) dan intensitas pertemuan dengan orang tua sangat jarang(children of street).
  1. Tujuan Penelitian
Tujuan di adakanya penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang terjadi di lingkungan sosial anak jalanan yang di antarannya adalah:
1)      Tujuan umum
Untuk mengetahui peranan rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan di kota tasikmalaya
2)      Tujuan khusus
                                i.            untuk mengetahui hubungan dan pengaruh rumah singgah terhadap pemberdayaan anak jalanan di kota tasikmalaya
                              ii.            untuk mengetahui program pemberdayaan yang diterapkan oleh rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan di kota tasikmalaya


  1. Luaran Yang Diharapkan
penelitian terhadap peran rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan di kota tasikmalaya ini diharapkan akan diperoleh hasil sebagai berikut:
1)      mengefektipkan tindakan aktor dan peran rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan di kota tasikmalaya
2)      mengentaskan program pemberdayaan anak jalanan di kota tasikmalaya
3)      empati masyarakat dalam memberdayakan anak jalanan melalui berbagai lembaga informal
  1. Kegunaan Penelitian
Adalah harapan kami sekiranya penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1)      memberikan in put atau masukan kepada pemkot mengenai permasalahan anak jalanan
2)      menginformasikan perihal program pemberdayaan di rumah singgah yang dapat di ikuti oleh anak jalanan
3)      menjadi fasilitator antara pemerintah dan anak jalanan yang di luar jangkauan dan bukan rujukan
  1. Tinjauan Pustaka
1)      Peran Dan Rumah Singgah
Peran menurut Soekanto (1990:268) adalah”aspek dinamis dari kedudukan(status) apabila seseorang menjalankan hak dan kewajibanya sesuai dengan kedukanya,maka dia telah menjalankan suatu peran”
menurut Robert Linton(1936) “teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor aktor yangbermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh budaya”
Sedangkan konsep peran menurut Soejono(1982)adalah”suatu konsef perihal apa yang dapat dilakukan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat,peran meliputi norma yang dikembangkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat,peran dalam arti ini merupakan serangkaia peraturan yang membingbing seseorang dalam kehidupan seseorang.
Definisi rumah singgah dalam konfrensi nasional II masalah pekerjaan anak di indonesia pada juli 1996 sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat informal,dimana anak bertemu untuk memperoleh infornasi dan pembinaan awal sebelum di rujuk ke dalam peminaan lebih lanjut.
Dari uraian definisi di atas dapat diambil simpulan bahwa seorang aktor (negara atau non negara) telah bertindak atau mejalankan peranya sebagai sebuah organisasi rumah singgah apabila telah mampu berinteraksi secara sosial budaya sesuai hak dan kewajibanya bersasarkan kedudukanya sehungga rangkaian dari setiap norma norma dan peraturan dapat membingbing masyarakat lebih berdaya.
2)      Anak Jalanan
Anak jalanan menurut Departemen Sosial (2005:5) adalah “anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk melakukan kegiatan hidupanya sehari hari dijalanan baik ntuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanana dan tempat umum lainya,anak jalanan mempunyai ciri ciri berusia 5 samapai 18 tahunmelakkukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan penampilanya kebanyakan kusam,pakaian tidak terurus dan mobilitasnya tinggi.
Berdasarkan pengelompoka Surbakti ,Dkk(1997)mengelompokan anak jalanan berdasaran hasil kajian dilapangan secara garis besar di bedakan jadi tiga kelompok yaitu:
  1. Children on the street yakni anak anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak dijalanan tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat  keluarganya (orang tua)sebagian penghasilan mereka di jalankan pada kategori ini adalah untuk mebantu yang mesti ditanggung tidak dapat ditanggug sendiri o;eh keluarganya.
  2. Children of the street yakni anak anak yang berfartisipasi penuh dijalanan baik secara soosial maupun ekonomi,beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya,tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu,banyak diantara mereka dalah anak anak yang karena suatu sebab lari atau pergi dari rumah.beberapa penelitian mengungkapkan bahwa anak anak ini sangat rawan terhadap periaku salah baik secara sosial emosional jahat maupun seksual.
  3. Children of families on the street yaknni anak anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan,meskipun anak anak inimemilki hubungan keluarga yang sangat kuat,tetapi hidupn mereka terombang ambing dari satu tempat ke tempat laindengan segala resilonya.salah satu ccontoh penting dari kategori ini adalah pemangpangan keehidupan anak ajalanan sejak anak masih bayi bahkan masih dalam kadungan.....
Kesimpulanya anak anak jalanan adalah sekelompok anak anak dengan rentan usia 6 sampai dengan 18 tahun yang menjalankan kehidupanya baik profesi, maupun pergaulanya di habiskan di jalanan,pola hubungan anak jalanan dengan anak jalanan biasanya memilikki frekkuensi yang relatif sedikit bahkan hilang sama sekali.
Hidup dijalanan bukanlah tanpa sebab,faktor perekonomian,kemiskinan dan kurangya kesempatan kerja karena kurangnya keterampilan yang dimiliki dan faktor administrasi seperti ijajah menjadi alasan yang umum anak jalanan di kota kota besar.
Pada dasarnya anak jalanan sama halnya seperti anak pada umumnya,mereka mempunyai dunianya sendiri,mempunyai minat,bakat,potens dankemampuan yang sama.hal ini di pertegas oleh konstitusi dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 1 yangmenyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.lebih jauhnya di perinci dalam UU no 23 tahun 2002 yang menegaskan bahwa setiap anak memiliki hak asasi yang sama yang harus di berikan dan dilindungi oeh negara seperti hak untuk berpendapat,beragama,pendidikan,kesehatan,jaminan sosial,dan bebas dari diskriminasi ekploitasi.
3)      Pemberdayaan
Dalam UU no 39 tahun 2012 dikatakan bahwa pemberdayaan adalah”segala upaya yang diarahkan utuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya saing sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.”
Menurut Ifz (1995:182) “pemberdayaan berarti menyiapkan kepada masyarakat simber daya,kesempatan atau peluang,pengetahuan,dan keahlian ntuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat itu dalam menentukan masa depan mereka,serta untuk berfartisipasidan mempengaruhi kehidupann dalam komunitas masyarakat di sekitarnya”
Menurut Kartasman (1996:144-145) menyatakan bahwa”setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan sehingga pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya otu dengan mendorong,memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaranakan potensi yang dimiliki serta untuk mengebangkanya.”
pendekatan dalam pemberdayaan menutur kartasman(1997:29) adalah”harus mengikuti pendekatan pendekatan sebagai berikut:
  1. Upaya pemberdayaan harus terarah(targeted) ini yang secara populer disebut pemetakan.pemerdayaan si ujukan langsung kepada yang memerlukan yang dirancang untuk mengetahui masalahnya dan sesuai kebutuhanya.
  2. Progam pemberdayaan harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadisasaran.
  3. Menggunakan pendekatan kelompok karena secara sendiri sendiri masyarakat miskin sulit memecahkan masalah masalah yang dihadapinya.
  1. Metode Pelaksanaan Program Penelitian.
  1. Populasi
Menurut Suharsimin Arikunto (2002:108) populasi adalah”keseluruhan dari seluruh subjek penelitian.
Populasi disini adalah
          i.            anak jalanan yang masuk ke tiga kategoi(children on the street,children of street dan children of families in the street) di kota tasikmalaya
        ii.            rumah singgah kota tasikmalaya
  1. Sampel
Menurut Suharsimin Arikutno (2002:109) sampel adalah”sebagian atau wakil dari populasil yang diteliti”
Sampel dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang masuk kategori childreen of the street yang berada di sekitaran  alun alun tasikmalaya
  1. teknik pengambilan sampel
teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitiann ini adalah
  1. purvosif sampling dimana sampel merupakaan pilihan sesuai yang dikehendaki oleh peneliti yang dianggap mewakili populasi
  2. snowball sampling teknik ini di anggap cocok untuk melengkapi teknik purvosif sampling karena dengan menggunakan beberapa orang yang dikehendaki peneliti yang di anggap mengetahui permasalahan dan kemudian memberikan informasi  mengenai informasi lain yang mungkin akan memberikan informasi baru atau tambahan.
Adapun data yang diambil dalam penelitian ini adalah:
  1. peran rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan di tasikmalaya
  2. program program pemberdayaan yang dilakkukan oleh rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan
  1. variabel penelitian
variabel dalam penelitian ini adalah:
  1. variabel bebas
menurut Soekidjo Notoatmojoyo (2005:70) yaitu”variabel yang mempengaruhi variabel terikat”
dimana variabel bebas dalam penelitian ini adalah peran pemberdayaan yang dilakukan oleh rumah singgah
  1. variabel terikat
menurut Soekidjo Notoatmijoyo (2005:70) yaitu “variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas”
dimana variabel terikat dalam peneilitian ini adalah hasil atau kulaitas dari keberdayaan  anak jalanan
  1. metode penelitian
  1. pendekatan atau jenis penelitian
Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik penelitian ekploratif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan terlebih dahulu atau mengembangkan hipotesis untuk penelitian lanjutan,penelitian eksploratif perlu mencari hubungan gejala gejala sosial ataupun fisik untuk mengetahui bentuk hubungan tersebut.
  1. Waktu dan pelaksanaan
penelitian mengenai peran rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan ini akan  dilakukan pada bulan april sampai juli 2015.dengan tempat pelaksanaan di rumah singgah kota tasikmalaya dan titik titik perkumpulan komunitas anak jalanan di sekitar kota  tasikmalaya.
  1. Tahap pelaksanaan penelitian

  1. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua data yaitu:
  1. Data primer yaitu data yang diusahakan atau didapatkan langsung oleh peneliti
Data ini di dapat melalui metode wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpulan data terhadap narasumber. Narasumber ini adalah anak jalanan,tokoh masyarakat yang memiliki pokus terhadap permasalahan anak jalanan,dan juga dengan pihak dinas sosial melalui rumah singgah.
selain itu juga dilakukan melalui observasi yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi(situasi,kondisi) yang meliputi tindakan atau peran rumah singgah, perilaku anak jalana,permasalahan sosial dan fsikis anak jalanan
  1. Data sekunder yaitu data yang didapat dari orang atau instansi lain baik dari dokumentasi maupun data penunjang lainya.
  1. Analisi data
Setelah di dapatakan data yang berhubungan dengan permasalahan peran rumah singgah dalam memberdayakan anak jalanan baik data primer maupun data sekunder dari hasil wawancara,catatan lapangan,dokumentasi,dan data lainya.selanjutnya diadakan reduksi data berupa perunutan data melalui pola yang telah diorganisasikan dalam sebuah kategori sehingga dapat di ambil simpulan dan hipotesis mengenai rumusan permasalahan dalam penelitian ini.















DAFTAR PUSTAKA
http://adidevis.wordpress.com/2013/06/08/konsep peran menurut beberapa ahli di akses jam 20.00 wib tanggal 28 maret 2015
http://local host.vcfly.com:8010/reformat/reformat php? url=http%3a%2f fe prints.sc.id diakses jam 21.00 wib tanggal 28 maret 2015
http:// adinda scabion blogspot.in/2013/teknik pengambilan sampel.html diakses jam 22.00 wib tanggal 28 maret 2015

Minggu, 17 November 2013

BIROKRASI dalam DINAMIKA POLITIK (HUBUNGAN BIROKRASI DENGAN POLITIK PADA ORDE LAMA ORDE BARU DAN PASCA REFORMASI)



BIROKRASI dalam DINAMIKA POLITIK
(HUBUNGAN BIROKRASI DENGAN POLITIK PADA ORDE LAMA ORDE BARU DAN PASCA REFORMASI)
OLEH YOSEF NURSYAMSI

Birokrasi secara harfiah diambil dari kata bureaucracy.bureau artinya meja sedangkan cracy artinya pemerintahan .jadi secara susunan kata birokrasi memiliki makna bahwa pemerintahan yang dijalankan atau pada proses pelayananya diatur di belakang meja.birokrasi sendiri diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.(Wikipedia bahasa Indonesia:2013)
Birokrasi juga sebagai biro atau layanan fublik yang secara sfesipik mengurusi perihal administrative.secara politik birokrasi dipandang sebagai posisi tawar yang menguntungkan karena merupakan ujung tombak dalam mengimplementasikan kebijakan pemerintah yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat secara langsung.
Secara tipologi birokrasi debedakan menjadi dua tipe.yang pertama birokrasi tradisional atau primodial dimana birokrasi ini memiliki karakteristrik sebagai berikut:
a)      Pejabat disaring lewat kedekatan pribadi dan golongan
b)      Jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan
c)      Pejabat mengontrol fungsi olitik dan administrative
Kedua birokrasi modern,birokrasi modern ini memiliki karakteristrik sebagai berikut:
a)    Susunan jabatan yang tetap dan terikat oleh peraturan
b)    Adanya hiraerki kekuasaan
c)    Adanya pembeda antara hak milik pribadi dan milik Negara
d)   Bebas dari monopoli dan intervensi politik manapun

Dari tipologi birokrasi diatas secara procedural kita akan mendapatkan hakekat birokrasi yang ideal yaitu birokrasi yang memiliki cirri sebagai berikut:
a)      Adabya hiraeki jabatan sebagai upaya konsolidasi birokrasi
b)      Adanya pembagian kerja yang sistematis
c)      Adanya tujuan yang jelas(visi misi)
d)     Birokrasi yang bebas nilai (netral)tidak memihak pada satu golongan atau politik.

Menurut mustofa d birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang memiliki 4 perangkat birokrasi sebagai berikut:
1)      Transformasi nilai
2)      Penataan organisasi dan tata kerja steck holder
3)      Pemantapan managmen
4)      Kompetensi sumber daya aparatur

Selain posisi yang strategis dalam mengimplementasikan kebijakan birokrasi juga dipandang sebagai sarana atau kekuatan politik untuk menyatukan bangsa,anggapan ini cukup logis karena hanya birokrasi yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa desa(toha:2003)
Adanya padangan bahwa birokrasi sebagai sarana politik yang mampu indikasi dan pengaruh terhadap masyarakat luas,lambat laun birokrasi yang sejatinya sebagai lembaga Negara yang mesti netral dan bebas nilai mulai dilirik dan dimanfaatkan oleh partai potitik khususnya partai politik yang menang pemilu.sehingga birokrasi sudah tidak bebas nilai dan di politisasi kewenanganya akibatnya birokrat cenderung berafiliasi terhadap rezim dan golongan tertentu.
Hubungan birokrasi dan dinamika politik terjadi ketika rezim penguasa mengintervensi dan memasukan kewenanganya atas nama partai dan gollongan akibatnya birokrasi menjadi cerminan dan personipikasi dari sebuah kekuatan politik yang berkuasa.
Ketika penguasa mengganti system pemerintahanya bergantipula managmen dan regulasi birokrasi begitu pola ketika rezim berganti maka birokrat atau pejabat birokrasi akan ikut berganti muka.
Menurut bahtiar effendi (dalam maliki:2000)sejak Indonesia mempunyai pejabat birokrasi sulit menemukan periode pemerintahan yang memperlakukan birokrasi sebagai instansi yang bebas nilai dari politik baik pada masa demokrasi parlementer,demokrasi terpimpin,demokrasi pancasila dan periode transisional sesudahnya .interplay antara politik dan birokrasi merupakan sesuatu yang jelas adanya.
Adapun hubungan yang terjadi antara birokrasi dan politik pada orde yang berkuasa dapat dilihat dari dinamika politik yang secara jelas dapat mempengaruhi jalanya birokrasi dibawah ini :

1.      Birokrasi Dan dinamika Politik Masa Orde Lama
Terjadinya transisi pemerintahan dari masa hindia belanda kepada Indonesia yang merdeka tidak hanya menimbulkan perdebatan mengenai bentuk Negara dan pemerintahan.pada masa orde lama di awal kemerdekaan juga terjadiperdebatan mengenai bagaimana cara regulasi dalam birokrasi khususnya mengenai steack holder atau para birokrat.
Ada dua Yang menjadi persoalan regulasi birokrasi pada masa orde lama yang pertama bagaimana menempatkan pegawai republic Indonesia yang telah berjasa dalam mempertahankan NKRI akan tetapi tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam hal administrasi dan birokrasi.yang kedua bagaimana menempatkan pejabat mantan birokrat hindia belanda yang dianggap sebagai penghianat dan tidak loyal terhadap NKRI akan tetapi memilki keahlian dan pengalaman dalam administrasi dan birokrasi.
Model birokrasi yang terjadi pada awal kemerdekaan adalah bersifat primodial atau tradisional karena pejabat yang disaring adalah orang orang yang memiliki kedekatan dan jasa terhadap pimpinan birokrasi.pada masa ini juga terjadi patronase antara pejabat dan yang member jabatan.
Di era orde lama birokrasi dari awal kemunculanya dipandang istimewa karena pada masa orde lama birokrasi dinilai mampu mempersatukan bangsa.mengingat kedudukanya yang istimewa baik sebagai sarana politik maupun dalam hal memobilisasi massa,pada tahun 1950-1959 di era demokrasi parlementer partai partai politik mulai memandang perlu menduduki dan memanfaatkan birokrasi sebagai kekuatan poltik yang berbasis pada idiologi.akibatnya partai partai politik yang menang pemilu mendominasi departemen dan lembaga Negara lainya.
Para birokrat pada masa ini tidak lagi bersikap netral dalam melayani masyarakat,adanya dualisme kepentingan dan jabatan antara pemerintah dan partai politik membuat birokrat lebih mementingkan partai dan golongan dari pada masyarakat dalam menjalankan birokrasi.
Dualisme  kepentingan diantara birokrat ini menyebabkan birokrasi tidak berjaln semestinya dan bertahan lama,ketika partai yang berkuasa berganti maka pejabat birokrasi akan berganti karena lebih mementingkan loyalitas terhadap parati politik.
Terjadinya dekrit presiden tanggal 5 juliyang mengkokohkan kedudukan presiden dalam membentuk dan memimpin Negara dimana sebagai kepala pemerintahan memimpin kabunet dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.adanya perubahan system pemerintahan dan di terapkan system politik NASAKOM menjadikan lembaga pemerintahan dan depatermen departemen sebagai incaran dan personifikasi kekuatan tiga oartai politik yaitu PNI,PKS,dll akibatnya terjadi polarisasikekuatan politik dan pengkaplingan departemen sesuai ideology partai politik MASAKOM dimana departemen luar negri di kuasai oleh PNI,departemen agama dikuasai oleh NU,departemen social dikuasai oleh PKI
Secara garis besar birokrasi pada masa orde lama dapat di simpulkan bahwa pada masa orde lama birokrasi belum menemukan titik seimbang dalam reglrulasi dan managemen. Struktur dan hirerki jabatan tidaklah solid,adanya pengkapingan departemen sebagai personifikasi dari poralisasi idiologi dan kekuatan politik serta politisasi pada birokrasi oleh partai yang menang pemilu membuat birokrasi tidak lagi netral karna departemen departemen sudah berapiliasi dengan partai politik.
Semenjak departemen telah di politisasi dan di kuasai oleh partai politik maka heraiki dan promosi jabatan di tentukan oleh seberapa loyal pegawai terhadap keanggotaan partai akibatnya para birokrat lebih cenderung mementingkan  partai,kader dan golongan diatas kepentingan masyarakat.tidak adanya tranfromasi nilai dan kompentensi aparatur dlam profesionalisasi dan kinerja birokrasi menjadikan birokrasi lemah dan rentan akan praktek KKN,dan manipulasi kepentingan. Silih berganti birokra ketika berganti partai yang berkuasa juga membuktikan bahwa birokrasi sebagai personifikasi partai politik yang mengensampingkan peƱata organisasi dan tata kerja steck holder dalam pemantapan menagemen birokrasi.

2.      Birokrasi Dalam Dinamika Politk Orde Baru
Berakhirnya pemerintahan soekarno (orde lama) pada tahun 1965 dan di angkatnya soeharto sebagai presiden baru mengisyaratkan bahwa berakhirnya regulasi birokrasi ala orde lama. Birokrasi  yang sebelumnya diduduki oleh partai partai yang berideologi NASAKOM secara total di rombak pada masa orde baru. Orde baru memandang bahwa adanya polarisasi ideology menjadi tiga kekuatan politik menyebabkan stabilitas nasional baik politik dan pemerintahan terkapling kapling terhadap orientasi yang berbeda dalam pembangunan nasional.
Sejak awal kelahiranya orde baru menekankan pada stabilitas nasional untuk membangun pemerintahan dan politik ekonomi yang kuat, demi terciptanya stabilitas nasional orde baru membangun konsensus nasional dimana yang menjadikan konsensis uatamnya adalah menjalankan UUD 45 dan pancasila dengan murni dan konsekuen. Yang selanjutnya di uraikan mengenai procedural dalam menjalankan consensus utama (menjalankan UUD 45 dengan murni dan konsekuen). Consensus ini kemudian di tetapkan melalui TAP MPRS no.XX/1966. Sebagai implementasinya maka seluruh rakyat harus menjalankan pancasila dengan murni dan konsekuen tidak terkecuali partai politik dan organisasi masa. Dengan di tetapkanya consensus dalam TAP MPRS no.XX/1966. Menegaskan bahwa orde baru sebagai demokrasi pancasila.
Pada masa orde baru terjadi pemerintahan yang sentralistik dimana presiden menjadi tokoh yang berperan penting dalam membuat sebuah kebijakan. Presiden dan atributnya menduduki posisi puncak piramida dan menjadikan birokrasi dan ABRI sebagai mesin politk dalam melanggengkan kekuasaan.
Para pejabat birokrasi diangkat langsung oleh presiden dari loyalis GOLKAR dan ABRI akibatnya terjadi patronase antara presiden sebagai patrone atau bos dan birokrat sebagai klien atau bawahan.
Promosi jabatan dan bantuan bantuan terhadap lembaga Negara dari pusat sangat di tentukan oleh seberapa loyal pejabat terhadap presiden. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar elektabilitas GOLKAR dalam pemilu. Jika GOLKAR menang dalam pemilu maka pejabat birokrat akan mudah mendapat promosi jabatan dan bantuan, akan tetapi jika elektabilitas GOLKAR kalah dlam pemilu imbasnya pejabat birokrat akan stagnan dalam jabatan semula dan bantuan berupa inprastruktur sulit di terima.
Relasi antara birokrasi pemerintahan dan kekuasaan politik justru telah menjadi kepanjangan tangan kekuasaan bahkan menjadi mesin politik dalam menghimpun dukungan pilitik pada masyarakat sampai ketingkat desa. Birokrasi tidak lagi netral dan bebas nilai dari politik penguasa, birokrasi lebih cenderung dan memihak pada kekuatan yang dominan yaitu GOLKAR.
Seperti yang di katakana Dwight king “orde baru sebagai beauratik authoritear with lilmited plurality  yaitu birokrasi baik sipil maupun militer memang sangat dominan bahkan cenderung otoriter tetapi warna prulalisme tetap ada sekalipun terbatas yaitu dengan cara mengorganisasi kepentingan secara korporasi. Seperti kepentingan buruh,petani dan guru yang disusun secara vertikal tidak horizontal seperti demokrasi pada umumnya.
Adanya birokratisasi terhadap lembaga lembaga social seperti guru dengan PGRI,wartawan  dengan PWRI dll , mengindikasikan gejala depolitisasi kewenangan terhadap institusi social dimana salah satu tujuannya adalah mewujudkan monoloyalitas PNS atau pejabat yang bekerja di instasi pemerintahan.
Seperti yang diungkapkan afan gaffan (2000):Indonesia pada masa orde baru telah terjadi proses depolitisasi yang sangat efektif  terhadap instansi yang ada. Depolitisai di lakukan dengan cara: pertama dengan mewujudkan konsep masa mengambang atau floating masa, control politik terhadap partai politik dan pemerintahan akan semakin gampang dilkakukan. Depolitisasi masa di lakukan untuk mencapai dua tujuan utama ,pertama agar orde baru mudah membentuk format politik sesuai kehendaknya, kedua sebagai dasar bagi terwujudnya stabilitas politk yang sangat di perlukan dalam rangka mengsukseskan pembangunnan ekonomi nasional. Kedua mewujudkan prinsip monoloyalitas terhadap semua pegawai negri sipil atau yang bekerja di lingkungan instansi pemerintahan. Ketiga emaskulasi partai politik yang ada hal terasebut di lakukan dengan dua macam cara yaitu  dengan dilakukan regroufing atau penyederhanaan system kepartaian dan mengontrol pimpinan utama partai tersebut sehingga partai partai tersebut mempunyai pimpinan yang akomodatif dengan pemerintah.
Dari uraian di atas dapat di disimpulkan bahwa pada masa orde baru birokrasi memiliki ciri khas yang berbeda dengan orde lama dimana pada masa orde baru pemisahan antara jabatan dan politik dalam administrative tidak jelas karna di samping ada eselonasi jabatan di bawah mentri akan tetap jabatan itu di pandang sebagai jabatan politik. Adanya interpensi pemerintah terhadap PNS supaya memiliki monoloyalitas terhadap GOLKAR, terjadinya bureacraty polity, dan dominasi birokrat beserta militaer dalam pembuatan kebijakan juga birokrasi bersifat patrimonialistik dan kooptasi organisasi masyarakat.

3.      Birokrasi Dalam Dinamika Politik Pasca Reformasi 
Pasca runtuhnya orde baru, hal yang sangat di perhatikan dalam birokrasi adalah gejala birokrat yang cenderung patrimonial dan patronasi pada masa orde baru di mana rule of man lebih tinggi dari rule of law sehingga presiden menjadi sentralistik baik dalam urusan kebijakan maupun mengangkat pejabat birokrat, birokrat di angkat karna kedekatan pribadi penguasa sehingga terjadi relasi patronasi antara penguasa dan birokrat, birokrat bukan hanya tidak netral akan tetapi pejabat birokrat berperan aktif dalam mengontrol politik dan administrative.
Melihat permasalahan birokrasi pada awal transisi maka salah satu upaya pemerintah adalah mengadakan reformasi birokrasi. Reformasi sendiri pada hakekatnya merupakan perubahan dalam system bukan merubah system itu sendiri
.reformasi birokrasi merupakan konsep yang luas ruang lingkupnya, mencakup pembenahan struktural dan kultural. Secara lebih rinci meliputi reformasi struktural (kelembagaan), prosedural, kultural, dan etika birokrasi. Reformasi birokrasi pemerintahan diartikan sebagai penggunaan wewenang untuk melakukan pembenahan dalam bentuk penerapan peraturan baru terhadap sistem administrasi pemerintahan untuk mengubah tujuan, struktur maupun prosedur yang dimaksudkan untuk mempermudah pencapaian tujuan pembangunan. Di dalam konteks Indonesia, dengan budaya paternalistik yang masih kuat, keberhasilan pembenahan birokrasi akan sangat ditentukan oleh peran pemimpin atau pejabat tinggi birokrasi. Jadi pembenahan tersebut seyogianya dilakukan dari level atas, karena pemimpin birokrasi kerapkali berperan sebagai ’patron’ sehingga akan lebih mudah menjadi contoh bagi para bawahannya. Pembenahan birokrasi mengarah pada penataan ulang aspek internal maupun eksternal birokrasi. Dalam tataran internal, pembenahan birokrasi harus diterapkan baik pada level puncak (top level bureaucrats), level menengah (middle level bureaucrats), maupun level pelaksana (street level bureaucrats). Pembenahan pada top level harus didahulukan karena posisi strategis para birokrat di tingkat puncak adalah sebagai pembuat keputusan strategis. Pada tataran menengah, keputusan strategis yang dibuat oleh pemimpin harus dijabarkan dalam keputusan-keputusan operasional dan selanjutnya ke dalam keputusan-keputusan teknis bagi para pelaksana di lapangan (street level bureaucrats).
Tujuan reformasi birokrasi secara garis besar adalah menciptalan pemerintahan yang good goverment yaitu birokrasi atau pemerintahan yang modern, professional profosonal mandiri terbuka integritas kompeten akuntable dan bebas nilai.
Untuk menciptakan birokrasi yang bebas nilai adalah tuntutan utama dalam birokrasi good government supaya pelayanan yang diberikan oleh birokrasi netral dan tidak memihak pada orsospol sebagaimana yang di katakan miftah toha (2003) birokrasi atau pemerintahan yang bukan merupakan kekuatan politik ini seharusnya di bebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan kekuatan yang sewaktu waktu bias masuk birokrasi dengan demikian di harapkan pelayanan kepada  masyarakat yang di berikan birokrasi netral tidak memihak dan objektif.
Akan tetapi pada kenyataanya pasca reformasi hakekat birokrasi yag bebas nilai dan netral sulit sekali terwujud hal ini dapat dilihat dari banyaknya pejabat birokrat yang maju menjadi calon angota legislative dan eksekutip pada pemilihan umum dari tahun ketahunya.

PANCASILA DAN BERBAGAI DEFINISI

Review Buku Kaelani klik link dibawah ini  https://docs.google.com/document/d/142IaPq55EThm5V0yfzz-dE0drDFMDc2Lfn9UcIib330/edit?usp=sh...