Minggu, 29 Mei 2016

format surat pengunduran diri

SURAT PENGUNDURAN DIRI Tasikmalaya,16 Mei 2016 Kepada yang terhormat, Ketua dan Pembina osis smpn 11 kota tasikmalaya Di tempat Dengan hormat, Saya sebagai anggota sekaligus pengurus osis smpn 11 kota tasikmalaya dengan identitas, Nama NISN Kelas Jabatan Mengajukan surat permohonan pengunduran diri sebagai anggota osis dan pemegang jabatan struktural di dalam kepengurusan osis smpn 11 kota tasikmalaya. Keputusan pengunduran dari keanggotaan dan jabatan struktural osis ini berdasarkan pertimbangan sebagai berikut 1. Kurangnya dukungan dari kedua orang tua selama mengikuti keanggotaan dan aktifitas osis 2. Padatnya rutinitas kegiatan osis 3. Menurunya nilai akademis dalam kegiatan belajar mengajar selama mengikuti kegiatan osis Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih pada seluruh civitas osis smpn 11 kota tasikmalaya atas segala bimbingan dan pembelajaran dalam keorganisasian sehingga banyak ilmu dan manfaat yang didapat selama menjadi anggota osis. Surat pengunduran diri ini saya buat dengan sebenar-benarnya atas kesadaran sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain. Demikian surat permohonan pengunduran diri ini saya buat untuk dapat dimaklumi. Mengetahui, Yang menyatakan Orang tua/wali siswa Menyetujui, Ketua osis Pembina osis

format surat dipensasi


Himpunan pemuda masjid al-aliyyah (hipma) Komplek DKM al-aliyyah,jl.cibangun kidul rt.03 rw 07 kel.ciherang, kec.cibeureum kota.tasikmalaya(46196) Nomer : B09/hipma/V/2016 Lampiran : - Perihal : permohonan ijin/ dispensasi Yang terhormat, Bapak/ibu guru Di tempat Assalamu’alaikum Wr. Wb Ter-iring sallam beserta do’a semoga bapak/ibu selalu ada dalam lindunganya sehingga aktivitas kita selalu ada dalam ridhanya. Sehubungan akan diselenggarakanya acara penyambutan terhadap akhir tahun ajaran 2015/2016 di yayasan pendidikan islam miftahul khoer,maka kami himpunan pemuda masjid al-aliyyah beserta Ypi miftahul khoer akan menyelenggarakan karanaval pada: Hari/tanggal :kamis /26 mei 2016-05-25 Waktu : 09.00 Tempat : komplek YPI miftahul khoer dan ma’arif garden Mengingat pentingnya kegiatan tersebut kami sebagai panitia pelaksana bermaksud memohon kebijaksanaan bapak/ibu guru dalam memberikan ijin/dispensasi kepada siswa/siswi, Nama : Kelas : Demikian surat permohonan ijin/dispensasi ini kami sampaikan.Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih. WASSALAMUALAIKUM Wr.Wb tasikmalaya 22 mei 206 15 sya’ban 1437 Himpunan Pemuda Masjid Al Aliyyah Sie.bag kepemudaan Mengetahui, Amad.SH Ketua YPI miftahul khoer Yosef Nursyamsi ketua HIPMA

Kamis, 10 Maret 2016

Samagaha

samagaha
pagi mentari tak sendiri
menyinari bumi bersama sang dewi
dan menuju
siang terang mentari berenang
menyelam di kedalaman rembulan
tenggelam dalam umbra kelam
redup dalam gulita gelap
sang batara kala mengaum menerkam sang surya
sekejap sangat kelam silam
fijar memancar
layaknya kilatan  resih batara guru
menebas tirta kamandhanu
mencerai sukma dalam raga
meninggalkan kepala keabadian
pijar surya terpancar mendistorsi batarakala(144dtik)
disana di negri seribu padma
umat menyepi dalam sepi
melawati hingga ngembak geni
mengagungkan kala saka( tahun baru saka/hindu) penuh tirta amerta
disini di negri santri
umat berjamaah kusufisi syamsi
menolak murka ilahi robbi
menafakuri mentari
menyinari kembali
bumi illahi





Jumat, 04 Maret 2016

Padma dan simularca

padma dan simularca
(Konstruksi_Representative vs realita)padmakau bukan lili,seroja danbukan jua teratai di kejernihan
kuncupmu menganga di keruhnya pematang sepimekar hendak menyemi sunyi
padmaeja mu bukan padmasana padma(di)sana berartar tahta berkuncup mahkotabersemi ria
padma tak hendak kah kuncupmu bersemi di ria(nya)padmasana
keruh dan sepi sunyi kau transformasi,mengkonstruksi senyum tersirat sumbing pematang sunyi padma kaulah simularca di tengah padmasana‪#‎simularca‬.culture_sebuahpola tingkah laku body language senyum yg dikonstruksi dan representatip bukan sebagai realita keadaan#postmodern‪#‎Jean‬Baudrillard#berontakata#puisi#puisimalam#puisitepijalan#rumahpuisi#sastra#sahabatpena#sajaknakal#kumpulanpuisi#instapuisi#cibanapala#produksihuruf#

Rabu, 17 Februari 2016

Marketing politik

Judul
Partai keadilan sejahtera(mobilisasi kader dalam strategi pemenangan dede s.ip pada pemilihan umum legislative di dapilI kota tasikmalaya)
BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah
partai politik menurut geovani sartori(1976)adalah”suatu kelompok yang mengikuti pemilihan umum dan,melalui pemilihan umum itu,mampu menempatkan calon calonya untuk menduduki jabatan jabatan fublik.”dengam kata lain tujuan utama didirikanya partai politik adalah untuk menguasai pos pos pemerintahan dengan jalan yang konstitusional sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Penguasaan akan jabatan jabatan fublik sangatlah diperlukan bagi partai politik dikarenakan dengan adanya penguasaan partai politik terhadap jabatan fublik atau jabatan politik,partai politik dapat menjalankan visi,misi dan program partainya melalui serangkaian regulasi dan kebijakan yang di formulasikanya.
Untuk menduduki jabatan jabatan funlik atau politik partai politik harus saling bersaing dengan partai politik lainya yang memiliki ideology,visi,misi dan program partai yang berbeda satu sama lainya.Hal ini sesuai dengan definisi partai politik menurut Sigmund neuman (1963)yaitu “organisasi dati aktivis aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yan gmemiliki pandangan yang berbeda”
Persaingan antara partai politik untuk meraih simpati dan dukungan masyarakat dalam penilihan umum tidak bias dibiarkan begitu saja tanpa strategi pemenngan pemilu,terlebih akhir akhir ini masyarakat sebagai konsetuen cenderung apatis dan fragmantis .dilain pihak masyarakat juga semakin cerdas dan kritis dalam mentukan sikap dalam berpolitik.partai politik dituntun memiliki visi,misi dan frogram yang nyata bagi masyarakat,dan untuk menyampaikan itu semua diperlukan mangmen pemasaran yang tepat dan cermat yang berkesan di tengah masyarakat.managmen pemasaran partai poltikdan kandidat politik dikenal dengan istilah marketing politik .
Marketing politik itu sendiri menurut firmansyah (2007) adalah “seperangkat metode yang dapat mempasilitasi kontestan(partai politik dan individu)dalam melaksanakan inisiaitif politik,isu politik,ideology politik,dan program kerja partai kepada masyarakat.”
Marketing politik menjadi salah satu kunci sukses pemenangan partai pada pemilu,dimana produk produk partai politik baik itu kandidat politik,visi,misi dan program kerja partai dan produk politik lainya di manage sedemikian rupa sehingga menarik perhatian dan simpati masyarakat dengan berbagai perhitungan matematis mulai dari positioning,degmentasi,demografi,focus dan aspek lainya penunjang pemenangan pemilu.dan semua yang terkait pada marketing politik tersebut terutama positioning merupakan upaya patai politik melalui tim suksesnya dalam menciptakan image atau citra politik yang jelas (distinct) baik bagi partai maupun kandidat politik bagi masyarakat sebagai konsetuen.
Image politik sendiri bisa dibangun melalui dua konsep pertama,bagaimana seseorang atau partai politik bertindak atau berprilaku politik dimasa lalu yang menghasilkan citranya selama ini dan kedua bagaimana partai politik dan seseorang akan bertindak dimasa depan dengan serangakian program dan janji yang akan memberikan harapan dan kesan politik bagi pencitraanya.
Dari sekian banyak partai politk yang menerapkan srtategi marketing politik ini adalah PKS yang memiliki citra islami dan bersih”meskipun akhir akhir ini terjerat kasus”.PKs sebagai partai kader tentunya harus bekerja ekstra keras dalam memasarakan produk politiknya.hal ini berbeda dengan partai masa pada umumnya,yang hanya berorientasi pada jumlah masa atau simpatisan,dimana hubungan antara partai politik dan konsetuen hanya terjalin sebatas pada masa kampanye dan pemilu.
Partai kader justru lebih mempokuskan pada pendidikan politik yang berkesinambungan dan memiliki hubungan yang tetap terjalin meskipun pemilu telah usai.akan tetapi PKS sebagai partai kader juga diharuskan untuk dapat memobilisasi masa khususnya pada masa kampanye dan pemilu sebagai wujud eksistensi partai dalam pemerintahan.pada pemilihan umum legislative kota tasikmalaya tahun 2014 PKS merefresentasikan kader partainya di DPRD sebanyakempat orang,yaitu Heri Ahmadi SPdI (PKS, 2.188) Dede S.IP (PKS, 2.275) Parid (PKS, 1.257) Dede Muhamad Muharam (PKS, 1.872) jumlah kursi ini sama dengan perolehan pemilihan umum legislative di tahun 2009,hal ini memberikan kesan bahwa partai kader (pks) cenderung statis dan dukungan dari kader dapat dikontrol dengan baik oleh partai tersebut.
PKS sebagai partai kader juga kerap kali menggunakan strategi pemenangan pe,ilu melalui mobilisasi kader dan simpatisan sebagai mesin penggerak partai atau tim sukses dalam pemilu,dengan model marketing politik berupa “direct selling” atau door to door ke masyarakat langsung.direct selling ini dilakukan dengan cara memberikan pengetahuan mengenai visi misi partai,program partai dan memperkenalkan kandidat calon anggota DPRD serta tata cara pencoblosan yang sah menurut KPU dengan mencoblos kandidat partai ataupun gambar partai sebagai simulatornya,yang menarik dari direct selling ini para kader sebagi tim sukses tidak memaksa pada target pemilih untuk mencoblos salah satu kandidat mereka diberikan kebebasan untuk mencoblos siapa saja dalam kolom partai PKS.
Dari uraian latar belakang diatas mengenai peran marketing politik sebagai salah satu strategi pemenangan pemilu,khususnya keberadaan PKS sebagai partai kader yang cenderung ekslusif dan statis dalam perolehan kursi di DPRD kota tasikmalaya ini,maka penulis tertarik untuk mengankat kasus ini menjadi sebuah tulisan penelitian tugas mata kuliah marketing politik dengan judul” partai keadilan sejahtera(mobilisasi kader dalam stratgi pemengan pemilu dede s.ip pada pemilihan umum legislatip di dapil III kota tasikmalaya tahun 2014)”
Bab ii
Kajian teori
Marketing politik menurut firmansyah (2007) adalah “seperangkat metode yang dapat mempasilitasi kontestan(partai politik dan individu)dalam melaksanakan inisiaitif politik,isu politik,ideology politik,dan program kerja partai kepada masyarakat
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
http://belajar-komunikasi.blogspot.co.id/2010/12/pengertian-budaya-politik.html
1. Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif [Almond dan Verba, h. 20]. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.

Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.

http://setabasri01.blogspot.co.id/2009/02/budaya-dan-sosialisasi-politik.html

. Budaya Politik Kaula

Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya politik kaula/subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan.

Budaya politik kaula/subjek memiliki frekuensi yang tinggi terhadap sistem politiknya. Namun, perhatian dan intensitas orientasi mereka terhadap aspek masukan dan partisipasinya dalam aspek keluaran sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa telah adanya otoritas dari pemerintah. Posisi kaula/subjek tidak ikut menentukan apa-apa terhadap perubahan politik. Masyarakat beranggapan bahwa dirinya adalah subjek yang tidak berdaya untuk memengaruhi atau mengubah sistem.

Dengan demikian, secara umum mereka menerima segala keputusan dan kebijaksanaan yang diambil oleh pejabat yang berwenang dalam masyarakat. Bahkan, rakyat memiliki keyakinan bahwa apa pun keputusan/ kebijakan pejabat adalah mutlak, tidak dapat diubah-ubah atau dikoreksi, apalagi ditentang. Prinsip yang dipegang adalah mematuhi perintah, menerima, loyal, dan setia terhadap anjuran, perintah, serta kebijakan penguasa.

Budaya Politik Partisipan

Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif.

Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya dapat dikatakan tinggi. Ciri-ciri dari budaya politik partisipan adalah sebagai berikut.
Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya.
Warga tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapidapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri.
Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik.
Masyarakat menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.
Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti halnya penjual danpembeli. Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri.

http://www.zonasiswa.com/2014/11/tipe-tipe-budaya-politik.html

Pesantren dan politik


Judul:Peran Pembisik Elit Pesantren Dalam Formulasi Peraturan Daerah (Perda)          no. 7 Tahun 2014 Mengenai Tata Nilai Religius Kota Tasikmalaya
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pesantren pada dasarnya lahir dan berkembang ditengah masyarakat sebagai sebuah medium antara kiyai dan santri,dimana kiyai diyakini sebagai orang atau tokoh yang mengerti dan faham semua urusan agama,sosial,culture dan nilai nilai yang berkembang di tengah masyarakat(baik dan buruk),sedangkan santri diposisikan sebagai bagian dari masyarakat yang awam terhadap urusan agama dan bermukim dipondok pesantren sebagai upaya menuntut ilmu agama,sosial culture dan nilai nilai yang kelak bermanfaat baik dari dimensi agama maupun kemasyarakatan.
Cara pandang masyarakat khususnya santri yang demikian,secara tidak langsung disadari atau tanpa disadari telah melahirkan pengkultusan bahwa sosok kiyai yang banyak mengetahui dan memahami semua dimensi keagamaan sebagai manusia purna yang suci dan anti dosa(insan kamil)akibatnya setiap tindakan dan ucapan kiyai harus dipatuhu tidak terkecuali sikap ta’jim terhadap kiyai.
Keberadaan pesantren pada awalnya hanya terbatas pada dimensi otestik(keagamaan)dan selebihnya hanya menilai baik burujnya sosioculture masyarakat,akantetapi seiring berjalanya waktu dan kondisi sosial terlebih munculnya kolonialisme di nusantara  memicu reaksi dari elit pesantren terhadap segala bentuk kolonialisme,terutama adanya prasangka dan kekwatiran kaum ulama terhadap tujuan kedatangan kolonialisme yang mengusung gagasan 3G(gold,glory dan gospel).
Sikap akan kekwatiran para kiyai ini diartikulasikan dalam bentuk resistensi terhadap kolonialisme dengan jalan perlawanan baik fisik maupun psikis.perjuangan dan pemikiran melawan kolonialisme terus di gelorakan demi tegaknya syariat dan kebebasan menjalankan agama sekaligus counter attack terhadap subculture 3G kolonialisme,dengan kata lain pesantren mulai memainkan perananya dalam politik kebangsaan.
Perjuangn dan pemikiran elit pesantren dalam politik kebangsan ini mulai meminimalisir gave antara dimensi otestik dan dimensi profane,hal ini membuktikan bahwa permasalahan agama dan agamam memiliki relevansi yang erat terhadao eksistensi umat dan tidak bisa di lepaskan begitu saja tanpa control dan “fatwa”.
Dinamika pesantren dan negara(politik) tidak hanya berhenti pada masa kolonialisme,jauh dari itu kepentingan elit pesantren dan negara mencapai titik kulminasi disaat terjadinya arbitrase antara tokoh pesantren yang menginginkan daulah islamiyah dengan tokoh nasionalisdalam perumusan dasar dasar konstitusi negara yang terdapat dalam konstitusi pancasila atau piagam jakarta.
Kekalahan barganing power dan position elit pesantren dalam pormulasi konstitusi negara ini menjadi triger terhadap munculnya sikap ekstrimisme faham islam militan (legal ekslusive) yang menginginkan terbentuknya negara syariat islam,dan hal ini pula yang menjadikan alergi terhadap ideologi islam dikalangan nasionalis dan moderat.
Meskipun demikian eksistensi elit pesantren “ideologi islam “khususnya yang terfersonapikasikan dalam refresentasi partai politik masyumi dan NU kerap kali menunjukan barganing position dan power ,hal ini nampak pada elektabilitas partai tersebut yang mampu menempati posisi 4 besar di pemilu era soekarno.hal ini pula yang menjadi cikal bakal lahirnya ideologi nasakom sebagai instrumen politik soekarno dalam mempertahamkan eksistensi kepemimpinanya,dilain pihak ideologi nasakom justru menjadi titik awal sentimen negatip elit islam terhadap legitimasi soekarno yang mulai ke “kiri-kirian”.
Memasuki era soeharto,ideologi islam khususnya partai politik masyumi dan pecahanya mulai teralienasi dan terdiskriminasi bahkan prtai masyumi dibekukan karena dianggap subversif.sikap alergi terhadap partai berideologi islam tergambar jelas pada peristiwa “fusi” peleburan partai partai islam yang direfresentasikan kedalam PPP dengan monoideologi yaitu pancasila.hal serupa juga terjadi pada pesantren yang pada awalnya memiliki control kuat terhadap masyarakat maupun negaramulai di cooptasi oleh soeharto dan dijadikan instrumen politik melalui “political culture”terlebih adanya khitahh pada muhtamar NU yang menghendaki para kiyai untuk kembali kepesantren tanpa berjuang di kancah politik praktis dan politik struktural.
Pasca reformasi euforia kebebasan berserikat dan berpendapat dalam demokrasi dirasakan juga oleh pesantren,elit elit pesantren seakan turut berkompetisi dalam politik praktis dan struktural,terlebih dengan adanya desentralisasi yang memungkinkan daerah memiliki otonomi dalam mengurus pemerintahanya sendiri menjadi angin segar bagi elit pesantren dalam menerapkan nilai nilai keislaman (syariat)dalam regulasi peraturan daerah,ditengah kekalahanya selama ini dalam membentuj negara syariat.
Formulasi  perda syariat ini bukan hanya dilakukan oleh elit pesntren yang menjadi kepala daerah akan tetapi juga menjadi suatu perwujudan dari deal deal politik antar kepala daerah dengan elit pesantren yang menjadi vote gatter dalam terpilihnya kepala daerah tersebut.
Keberadaan pesantren dan elit pesantren dikota tasikmalaya sengatlah berpengaruh terhadap perilaku politik dan budaya politik masyarakat tasikmalaya terutama pemilih tradisional.eksistensi elit pesantren sebagai tokoh yang kharismatik kerap kali menghasilkan deal deal politik antar elit pesantren dan kepala daerah terpilih.diantara deal deal politik tersebut adalah diterbitkanya perda syariah di kota tasikmalaya saat kepemimpinan syarief.pada masa kepemimpinan syarief ini dikeluarkan perda no / tentang tata nilai kota tasikmalaya dan hal ini diyakini sebagai deal politik antara sayarief dan elit pesantren dalam pemenangan pemilu.
Hal serupa juga terjadi pada masa kepemimpinan budi dede perda mengenai tata nilai religius kota tasikmalaya dalam perda no 7 tahun 2014 mengisyaratkan bahwa eksistensi elit pesantren selalu berada dibalik kesuksesan kepala daerah dalam pemengan pemilu.
Elit elit pesantren seakan memainkan peran penting dalam formulasi setiap kebijakan yang berhubungan langsung dengan tata cara dan nilai yang berkembang dimayarakat,hal ini tidak terlepas dari cita cita pendahulu pesantren kususnya ditasikmalaya yang menginginkan daulah islamiyah.
Melihat dinamika yang terjadi antara pesantren dan politik diatas khususnya keberadaan elit  pesantren di kota tasikmalaya yang kerap kali terlibat dalam deal deal politik dan selalu menghasilkan perda syariah di setiap pergantian pemimpin daerah sangat menarik untuk dikaji baik dari segi literatur maupun realitas emperis.untuk menjawab ketertarikan tersebut penulis bermaksud menyusun masalah ini dalam tulisan yang berjudul”peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius di kota tasikmalaya”

Rumusan Masalah
dari uraian latarbelakang diatas maka untuk dapat menjawab persoalan yang terjadi perihal dinamika pesantren dan politk,penulis merummuskan permasalahan ini dengan fokus:bagaimana peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no7 tahun2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya?
Batasan masalah
Mengingat kompleknya permasalahan maupun kepentingan antara pesantren dan politik yang terjadii akhir akhir ini,terlebih adanya dinamika persepsi dan  pen dekatan yang beragam antara antar pesantren itu sendiri terhadap negara/politik,maka untuk memperjelasdan memberikan gambaran yang utuh,penulis hanya memfokuskan pada peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai di kota tasikmalaya dan membatasinya pada teori sistem menurut david eston.
Tujuan penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan diatas penyusunan penelitian ini bertujuan untuk bisa menjawab persoalan mengenai bagaimana peran pembisik eit pesantren dalam formulasi perda nomer 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya sekaligus dapat menyelesaikan tugas penelitian mata kuliah pesantren dan politik
Manfat penelitian
Dengan disusunya tulisan mengenai penelitian ini,penulis berharap apa yang disajikan oleh penulis lewat penelitian ini bisa bermanfaat baik dari dimensi teoritis maupun praktis.
Manfaat teoritis
Dari dimensi teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai hubungan pesantren dan politik yang kerap kali terlihat harmonis dengan  romantisme elit elit pesantren yang bersinggungan dengan politik praktis,pollitik struktural maupunn politik cultural.dan lebih jauhnya bisa dijadikan reverensi atau pembanding antara teori diakademi dan realita empiris yang terjadi sebenarnya di tataran kehidupan bermasyarakat.
Manfaat praktis
Adapun dari dimensi praktis diharapkan penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi praktisi politik maupun elit elit pesantren dalam menjalankan perananya sebagai aktor di masing masing peran yang dijalankanya sehingga bisa berjalan sesuai dengan koridor dan etika yang seharusnya dilakukan sebagai aktor.



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Peran
Menurut Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 55), teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi.  Mereka menyatakan bahwa peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan” (h. 143).  Lebih lanjut, Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 56) mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan.  Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception (Kahn, et al., 1964; Oswald, Mossholder, & Harris, 1997 dalam Bauer, 2003: 58)
Scott et al. (1981) dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu:
Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya, bukan individunya.
Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.
Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity)
Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa perubahan perilaku utama.
Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.
Definisi Pembisik
Artikata pembisik dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai orang yang membisikan sesuatu kepada orang lain  dan orang yang berugas membisikan apa yang harus dikatakan oleh pemailain dalam sandiwara.
Dari definisi diatas dapt disimpulkan bahwa pembisik adalah orang orang mampu mempengaruhi pemikiran dan pendapat seseorang baik itu tokoh fublik,pejabat,maupun lainya secara diam diam yang cenderung sangat dekat secara personal dengan orang tersebut dan biasanya seorang pembisik itu mampu menguasai informasi
Teori elit
menurut  mills ( ) ellit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranata pranata utama dalam masyarakat.dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Model Formulasi Kebijakan Dan Teori  Sisitem
Menurut Thomas R. Dye ( 1995 ) ada 9 model dalam merumusakan kebijakan publik.
1. Model Kelembagaan
Formulasi kebijakan dengan model ini bermakna bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas pemerintah (lembaga legislatif ). Jadi apapun yang dibuat pemerintah adalah kebijakan publik.Dye membenarkan model ini karena 3 alasan : 1) pemerintah memang lembaga yang sah dalam membuat kebijakan 2)fungsi pemerintah universal 3) pemerintah punya hak monopoli fungsi pemaksaan.
Kelemahan pendekatan ini adalah terabaikannya masalah lingkungan tempat diterapkannya kebijakan karena pembuatan kebijkan tidak berinteraksi dengan lingkungan.
2. Model Proses
Politik adalah sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. proses yang diakui dalam Model proses ini adalah sebagai berikut :
a. Identifikasi Permasalah
b. Menata Agenda Formulasi Kebijakan
c. Perumusan Proposal Kebijakan
d. Legitimasi Kebijakan
e. Implementasi Kebijakan
f. Evaluasi kebijakan
Matrik dari Charles O Jones dapat anda temukan DISINI

3. Model Kelompok
Model kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan ( equilibrium ). Disini beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentk kebijakan secara interaktif ( Wibawa, 1994,9)

4. Model Elit
Berkembang dari teori elit masa dimana masayakat sesungguhnya hanya ada dua kelompok yaitu kelompok pemegang kekuasaan (elit ) dan yang tidak memegang kekuasaan. kesimpulannya kebijakan yg muncul adalah bias dari kepentingan kelompok elit dimana mereka ingin mempertahankan status quo. Model ini tidak menjadikan masyarakat sebagai partisipan pembuatan kebijakan.

5. Model teori Rasional
Pengambilan kebijakan berdasarkan perhitungan rasional.
Kebijakan yang diambil adalah hasil pemilihan suatu kebijakan yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Disini terdapat cost-benefit analysis atau analisa biaya dan manfaat.
Rangkaian formulasi kebijakan pada model ini :
a. Mengetahui preferansi publik dan kecenderungannya
b. Menemukan pilihan pilihan
c. Menilai konsekuensi masing masing pilihan
d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan
e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien

6. Model Inkremental
Model ini adalah kritik dari model rasional, karena tidak pembuat kebijakan tidak cukup waktu, intelektual dan biaya. Dengan model pemerintah menurut dengan kebijakan dimasa lalu yang dimodifikasi.
Kesimpulannya Kebijaka inkremental adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahannkan kinerja yagn telah dicapai.

7. Model Teori Permainan
Gagasan pokok dari kebijakan dalam model teori permainan adalah :
a. Formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif
b. Para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependen
Kunci memenang kebijaka dalam model ini adalah tergantung kebijakan mana yang tahan dari serangan lawan bukan yang paling optimum. So defensif

8. Model Pilihan Publik
Model ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. ( Publik Choise)
Secara umum model ini adalah yang paling demokratis karena memberikan ruang yang luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Namun terkadang kebijakan yang diambil adalah kepentingan dari pendukung suatu partai maka dari itu pemuasan yang diberikanpun hanya sepihak yaitu pada pemilih.

9. Model Sistem
David Easton model sistem secara sederhana dapat dilihat seperti input-proses-output. Kelemahan Model sistem adalah keterfokusan hanya pada apa yng dilkakukan pemerintah namun lupa tentang  hal yang tidak dilakukan pemerintah.
Sementara itu menurut David Easton (1984:395) teori sistem adalah:
suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah).

Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi.
2. Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat).
3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output)
Definisi Peraturan Daerah(Perda)
pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  sebagai berikut :
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.








BAB III
METODE PENELITIAN
Pendekatan Atau Jenis Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik penelitian ekploratif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan terlebih dahulu atau mengembangkan hipotesis untuk penelitian lanjutan,penelitian eksploratif perlu mencari hubungan gejala gejala sosial ataupun fisik untuk mengetahui bentuk hubungan tersebut.
Lokasi penelitian
Tempat atau lokasi penelitian mengenai peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 ini akan dilaksanaka di kota tasikmalaya dengan fokus dan lokus penelitian terhadap MUI dan elit pesantren yang memiliki peranan yang kuat(barganing position dan power) terhadap pemerintah
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua data yaitu:
Data primer yaitu data yang diusahakan atau didapatkan langsung oleh peneliti
Data ini di dapat melalui metode wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpulan data terhadap narasumber.
Narasumber dalam penelitian ini adalah MUI,elit pesantren yaang memiliki kedekatan dengan pemerintahan dan anggota komisi DPR yang bersangkutan dengan formulasi kebijakan ini.
selain itu juga dilakukan melalui observasi yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi(situasi,kondisi
Data sekunder yaitu data yang didapat dari orang atau instansi lain baik dari dokumentasi maupun data penunjang lainya
.
Analisis Data
Metode dalam analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan model analisa interaktif yang digunakan selama proses penelitian.
Menurut Miles dan Huberman (Usman dan akbar Setiady, 2011 : 85-88) dalam teknik ini ada tiga komponen pokok analisa, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transpormasi data “Kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengtode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan lain sebagainya dengan maksudmenyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengategorisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi.
Penyajian Data
Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersususn yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualiatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semua dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami.
Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan.
















BAB III
PEMBAHASAN
Elit Pesantren
Elit menurut mills(   )adalah”mereka yang menduduki posisi komando pada pranata pranata utama dalam masyarakat,dengan kedudukan trsebut para elit mengambil keputusan-keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh masyarakat”
Posisi elit sendiri biasanya berbentuk piramida dimana elit berada pada posisi puncak piramida,hal ini dikarenakan terbatasnya orang orang yang menguasai akan sumber sumber ekonomi,politik,social,budaya dan lainya.sehingga hanya orang orang yang memiliki sumber kekuasaanlah yang akan menjadi elit di dalam pranata social.
Dilingkungan masyarakat elit tidak hanya terbatas pada orang orang yang menguasai sumber ekonomi dan politik jauh dari itu penguasaan akan sumber sumber pengetahuan khususnya keagamaan menjadi hal yang sangat dihormati keberadaanya ditengah masyarakat,bahkan lebih memiliki charisma dibandingkan dengan elit berdasarkan penguasaan akan sumber lainya.
Elit keagamaan atau elit pesantren mendapatkan sumber kekuasaan dan wewenangya melalui proses yang sangat panjang setidaknya harus ada pengakuan akan penguasaan dimensi otestik.penguasaan akan sumber sumber otestik (keagamaan) ini di ejawantahkan dengan syiar ditengah masyarakat dan dipersonifikasikan melalui tingkah aku dan tindakan yang mencerminkan ajaran agama,sehingga akan melahirkan citra religious sebagai panutan masyarakat.
Lahirnya citra religious yang menguasai dimensi otestik dengan sendirinya akan mengukuhkan seseorang menjadi elit “keagamaan” yang dapat mengontrol pranata social melalui serangkaian keputusan dan petuah.
Di kota tasikmalaya sendiri,banyak elit yang lahir dari penguasaan akan sumber keagaman diantaranya tokoh pimpinan pesantren silalatul huda,paseh yaitu KH.aminudin bustomi M.ag.Penguasaan akan ilmu keagamaan sekaligus sebagai pucuk pimpinan pesantren menjadikan KH.Aminudin ini sebagai elit keagamaan di kota tasikmalaya yang memiliki pengaruh khusunya di daerah paseh.
Pengaruh Kh Aminudin terhadap masyarakat paseh disekitar pesantrenya lambat laun terkristalisasi  melahiran control social dan charisma.adanya conrol social dan charisma sangat penting dalam membentuk basis masyarakat yang homogeny dalam satu persoalan.basis masyarakat ini kerap kali dijadikan instrument politik khususnya menjelang pemilu.
Hadirnya elit yang berpengaruh ditengah masyarakat menjadi vote gatter dan memiliki bargaining position dan bargaining power yang diperhitungkan oleh kalangan politik,sehingga tidak jarang terjadi politik transaksional antar kedua belah pihak melalui deal deal dan kontrak politik.
Peran Elit Pada Formulasi Perda No 7 Tahun 2014
Kota Tasikmalaya merupakan daerah yang kental dengan nilai nilai religious,hal ini dapat dilihat dari setiap visi dan misi di hamper semua instansi pemerintahan erlandaskan iman dan taqwa.
Nilai nilai religiusitas ini dirasakan belum dapat menyentuh setiap sendi kehidupan bermasyarakat,sehingga perlu dibuat formulasi mengenai tata nilai religious di kota Tasikmalaya.
Formulasi ini dinilai penting oleh pemerintah kota sebagai bentuk agregasi dan afirmasi terhadap asfirasi masyarakat religious yang harus di artikulasikan dalam suatu peraturan daerah.disisi lain formulasi ini juga sangat penting bagi para elit pesantren dan keagamaan sebagai bentuk eksistensi syiarnya syar’iyah.
Formulasi perda ini tidak terlepas dari tuntutan elit pesantren dan agamayang menghendaki adanya regulasi yang legal dalam mengatur kehidupan bermasyarakatwarga Tasikmalaya yang religious.
Dilihat dari model formulasi kebijakan, Perda ini termasuk dalam model kelompok.model kelompok ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan(equilibrum),dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktip(wibawa:1994)
Hal ini didasarkan atas nilai ke-universalan religiusitas yang tidak hanya bertumpu pada satu agama.begitu juga dalam proses formulasinya yang sarat akan kepentingan interst group.hadirnya KH.Aminudin  sebagai elit pesantren sekaligus ketua MUI dalam audiensi mengisyaratkan adanya control yang balance dari interest group.
Sementara itu dilihat dari system david eston,formulasi Perda ini Nampak pada hubungan sub sub system(ormas islam dan elit pesantren) dengan system sebagai satu unit yang dilandasi oleh bentuk komunikasi yang bisa dikodefikasikan melalui penerimaan informasi,penerjemahan masukan(input) kedalam beberapa jenis out put,dimana elit pesantren sebagai sub system memberikan informasi dan kegunaan formulasi rancangan Perda ini yang nantinya akan masuk prose black box mealaui serangkaian pertimbangan sebelum menghasilakan out put berupa Perda.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Lahirnya elit pesantren sebagai tokoh yang memiliki penguasaan akan sumber sumber ilmu keagamaan yang mampu mengontrol masyarakat melalui kewenangan dan kepemimpinan yang berasal dari expert (penguasaan dan keahlian dibidang keagamaan) maupun berdasarkan charisma yang didapat dari tindakan dan tingkah laku yang jadi panutan lambat laun akan melahirkan pengaruh terhadap masyarakat sekitar dan menjadikanya sebagai inforce mediasi perantara antar berbagai kalangan dan hubungan keagamaan dan social lebih jauhnya pengaruh ini kerap kali dijadikan instrument politik untuk dijadikan vote gatter terutama dikalangan masyarakat yang berprilaku politik tradisional(kaula).
Bargaining power dan position ini menempatkan elit pesantren sebagai bagian dari sub system yang mampu mempengaruhi formulasi kebijakan bahkan membisikan tentang tuntutan dan pemikiranya terhadap pemerintahan.baik akibat adanya kontrak politik sebagai political transaksional maupun sebagai bagian sub system yang memiliki control social dalam stabilitas daerah.







DAFTAR PUSTAKA
https://jodenmot.wordpress.com/2012/12/29/teori-peran-pengertian-definisi/ diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.00 wib
http://taufiknurohman25.blogspot.co.id/2011/04/teori-sistem-david-easton.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.30 wib
http://k uliahadministrasinegara.blogspot.co.id/2013/12/model-perumusan-kebijakan-publik.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.50 wib

PANCASILA DAN BERBAGAI DEFINISI

Review Buku Kaelani klik link dibawah ini  https://docs.google.com/document/d/142IaPq55EThm5V0yfzz-dE0drDFMDc2Lfn9UcIib330/edit?usp=sh...