BAB I
PANCASILA DALAM
KONTEKS
SEJARAH
PERJUANGAN BANGSA INDONESIA
A. Pengantar
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia sebelum
disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, nilai-nilainya telah ada pada
bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa Indonesia mendirikan
negara, yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan serta nilai-nilai
religius. Nilai-nilai tersebut telah ada dan melekat serta teramalkan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup sehingga materi Pancasila yang
berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri,
sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Nilai-nilai
tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri
negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat negara Indonesia. Proses perumusan
materi Pancasila secara formal tersebut dilakukan dalam sidang-sidang BPUPKI
pertama, sidang panitia ”9”, sidang BPUPKI kedua, akhirnya disyahkan secara
yuridis sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia.
B. Terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Berdirinya negara RIS dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia adalah sebagai suatu taktik secara politis untuk tetap konsisten
terhadap deklarasi Proklamasi yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu
negara persatuan dan kesatuan sebagaimana termuat dalam alinea IV, bahwa
Pemerintahan Negara..., yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah negara Indonesia..., yang berdasarkan UUD 1945
dan Pancasila maka terjadilah gerakan unitaristis secara spontan dan rakyat
untuk membentuk negara kesatuan yaitu dengan menggabungkan diri dengan negara
Proklamasi RI yang berpusat di Yogyakarta, walaupun pada saat itu negara RI
yang berpusat di Yogyakarta itu hanya berstatus sebagai negara bagian RIS saja.
Pada suatu ketika negara bagian dalam RIS tinggalah 3 buah negara bagian saja
yaitu:
1.
Negara bagian RI Proklamasi
2.
Negara Indonesia Timur (NIT)
3.
Negara Sumatra Timur (NST)
Akhirnya berdasarkan persetujuan RIS dengan negara RI
tanggal 19 Mei 1950, maka seluruh negara bersatu dalam negara kesatuan, dengan
Konstitusi Sementara yang berlaku sejak 17 Agustus 1950.
Walaupun UUDS 1950 telah merupakan tonggak untuk menuju cita-cita
Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945, namun kenyataannya masih berorientasi
kepada pemerintah yang berasas demokrasi liberal sehingga isi maupun jiwanya
merupakan penyimpangan terhadap Pancasila. Hal ini disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:
a.
Sistem multi partai dan kabinet
parlementer berakibat silih bergantinya kabinet yang rata-rata hanya berumur 6
atau 8 bulan. Hal ini berakibat tidak mampunya pemerintah untuk menyusun
program serta tidak mampu menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan,
bahkan menimbulkan pertentangan-pertentangan, gangguan-gangguan keamanan serta
penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
b.
Secara ideologis Mukadimah Konstitusi
Sementara 1950, tidak berhasil mendekati perumusan otentik Pembukaan UUD 1945,
yang dikenal sebagai Declaration of
Independence bangsa Indonesia. Demikian pula perumusan Pancasila dasar
negara juga terjadi penyimpangan. Namun bagaimanapun juga UUDS 1950, adalah
merupakan suatu strategi ke arah negara RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dari negara Republik Indonesia Serikat.
C. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Pemilu tahun 1955 dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
harapan dan keinginan masyarakat, bahkan mengakibatkan ketidakstabilan pada
bidang politik, ekonomi, sosial maupun hankam. Keadaan seperti itu disebabkan
oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Makin
berkuasanya modal-modal raksasa terhadap perekonomian Indonesia.
2.
Akibat silih bergantinya kabinet, maka
Pemerintah tidak mampu menyalurkan dinamika masyarakat ke arah pembangunan
terutama pembangunan bidang ekonomi.
3.
Sistem liberal yang berdasarkan UUDS
1950 mengakibatkan kabinet jatuh bangun, sehingga pemerintah tidak stabil.
4.
Pemilu 1955 ternyata tidak mampu
mencerminkan dalam DPR suatu perimbangan kekuasaan politik yang sebenarnya
hidup dalam masyarakat. Misalnya masih banyak kekuatan-kekuatan sosial politik
dari daerah-daerah dan golongan yang belum terwakili dalam DPR.
5.
Faktor yang paling menentukan adanya
Dekrit Presiden adalah karena Konstituante yang bertugas membentuk UUD yang
tetap bagi negara RI, ternyata gagal, walaupun telah bersidang selama dua
setengah tahun. Bahkan separoh anggota sidang menyatakan tidak akan hadir dalam
pertemuan-pertemuan Konstituante. Hal ini disebabkan Konstituante yang
seharusnya bertugas untuk membuat UUD negara RI ternyata membahas kembali dasar
negara. Atas dasar hal-hal tersebut maka Presiden sebagai badan yang harus
bertanggungjawab menyatakan bahwa hal-hal yang demikian ini mengakibatkan
keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan serta
keselamatan negara nusa dan bangsa. Atas dasar inilah maka Presiden akhirnya
mengeluarkan Dekrit atau pernyataan pada tanggal 5 Juli 1959, yang isinya:
a.
Membubarkan Konstituante.
b.
Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945
c.
Tidak berlakunya kembali UUDS tahun
1950
d.
Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya.
Berdasarkan Dekrit Presiden tersebut maka UUD 1945
berlaku kembali di Negara Republik Indonesia hingga saat ini (Mardojo, 1978:
192).
Pengertian
Dekrit
Dekrit adalah suatu putusan dari
organ tertinggi (kepala negara atau organ lain) yang merupakan penjelmaan
kehendak yang sifatnya sepihak. Dekrit dilakukan bilamana negara dalam keadaan
darurat, keselamatan bangsa dan negara terancam oleh bahaya. Landasan hukum
Dekrit adalah “Hukum Darurat”.
D. Masa Orde Baru
Suatu tatanan masyarakat serta pemerintah sampai saat
meletusnya pemberontakan G 30 S PKI dalam sejarah Indonesia disebut sebagai
masa ”Orde Lama” maka tatanan masyarakat dan pemerintahan setelah meletusnya G
30 S PKI sampai saat ini disebut sebagai “Orde Baru”, yaitu suatu tatanan
masyarakat dan pemerintahan yang menuntut dilaksanakannya Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Munculnya Orde Baru diawali dengan munculnya
aksi-aksi dari seluruh masyarakat antara lain Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Guru
Indonesia (KAGI), dan lain sebagainya. Aksi rakyat tersebut muncul dengan suatu
tuntutan yang terkenal dengan Tritura atau (Tiga Tuntutan Hati Nurani Rakyat),
sebagai perwujudan dari tuntutan rasa keadilan dan kebenaran, adapun isi
Tritura tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya
2.
Pembersihan Kabinet dari unsur-unsur G
30 S PKI
3.
Penurunan harga
Karena Orde Lama akhirnya tidak mampu lagi menguasai
pimpinan negara, maka Presiden/ Panglima Tertinggi memberikan kekuasaan penuh
kepada Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto, yaitu dalam bentuk
suatu “Surat Perintah 11 Maret 1966” (Super Semar). Tugas pemegang Super Semar
cukup berat, yaitu untuk memulihkan keamanan dengan jalan menindak pengacau
keamanan yang dilakukan oleh PKI beserta ormas-ormasnya, membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya serta mengamankan 15 Menteri yang memiliki indikasi terlibat G
30 S PKI dan lain-lainnya. (Mardoyo, 1978: 200).
Sidang MPRS IV/1966, menerima dan memperkuat Super Semar
dengan dituangkan dalam Tap No. IX/MPRS/1966. Hal ini berarti semenjak itu
Super Semar tidak lagi bersumberkan Hukum Tatanegara Darurat akan tetapi
bersumber pada kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Pemerintah Orde
Baru kemudian melaksanakan Pemilu pada tahun 1973 dan terbentuknya MPR tahun
1973. Adapun misi yang harus diemban berdasarkan Tap No. X/MPR/1973.
BAB II
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
A. Pengertian Filsafat
Dalam wacana ilmu pengetahuan, banyak orang memandang
bahwa filsafat adalah merupakan bidang ilmu yang rumit kompleks dan sulit
dipahami secara definitif. Selama manusia hidup sebenarnya tidak seorangpun
dapat menghindar dari kegiatan berfilsafat. Sehingga berdasarkan kenyataan
tersebut maka sebenarnya filsafat itu sangat mudah dipahami. Jikalau orang
berpendapat bahwa dalam hidup ini materilah yang esensial dan mutlak, maka
orang tersebut berfilsafat materialisme dan sebagainya.
Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa
Yunani philein yang artinya “cinta”
dan sophos yang artinya hikmah atau
kebijaksanaan atau wisdom (nasution,
1973). Jadi secara harfiah istilah “filsafat” mengandung cinta kebijaksanaan.
Ilmu pengetahuan yang sebelumnya dibawah naungan filsafat. Jikalau kita
membahas pengertian filsafat dalam hubungannya dengan lingkup bahasannya maka
mencakup banyak bidang bahasan antara lain tentang manusia, alam, pengetahuan,
etika, logika dan lain sebagainya.
B. Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila
Sebagai Suatu Sistem
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya
merupakan suatu sistem filsafat. Pengertian sistem adalah suatu kesatuan
bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan
tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem
lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Suatu kesatuan bagian-bagian
2.
Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi
sendiri-sendiri
3.
Saling berhubungan dan saling
ketergantungan
4.
Keseluruhannya dimaksudkan untuk
mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem)
5.
Terjadi dalam suatu lingkungan yang
kompleks (Shore dan Voich, 1974)
C. Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila
yang Bersifat Organis
Isi sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan Dasar filsafat negara Indonesia terdiri atas lima sila yang
masing-masing merupakan suatu atas peradaban. Namun demikian sila-sila
Pancasila itu merupakan suatu kesatuan dan keutuhan yaitu setiap sila merupakan
unsur (bagian yang mutlak) dari Pancasila. Maka Pancasila merupakan suatu
kesatuan yang majemuk tunggal. Konsekuensinya setiap sila tidak dapat berdiri
sendiri-sendiri terlepas dari sila-sila lainnya serta diantara sila satu dan
lainnya tidak saling bertentangan.
D. Kesatuan Sila-sila Pancasila sebagai
Suatu Sistem Filsafat
Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah
hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja namun juga meliputi
kesatuan dasar ontologis dasar epistemologis serta dasar aksiologis dari
sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila
adalah bersifat hierarkhi dan mempunyai bentuk piramida digunakan untuk
menggambarkan hubungan hierarkhi sila-sila Pancasila dalam urut-urutan luas
(kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan kesatuan sila-sila Pancasila
itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu hierarkhi
dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta
hakikat sila-sila Pancasila. Secara filosofis Pancasila sebagai suatu kesatuan
sistem filsafat memiliki dasar ontologis,
dasar epistemologis, dan dasar aksiologis sendiri yang berbeda
dengan sistem filsafat yang lainnya misalnya materialisme, liberalisme,
pragmatisme, komunisme, idealisme dan lain paham filsafat di dunia.
E. Dasar Antropologis Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai sistem filsafat tidak hanya menyangkut
sila-silanya saja melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila
Pancasila atau secara filsofis meliputi dasar ontologis sila-sila Pancasila.
Pancasila yang terdiri atas lima sila setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri
sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar
ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak
monopluralis, oleh karena itu hakikat
dasar ini juga disebut sebagai dasar
antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia,
hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa yang berketuhanan yang Maha
Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia
(Natonagoro, 1975: 23). Demikian juga jikalau kita pahami dari segi filsafat
negara bahwa Pancasila adalah dasar filsafat negara, adapun pendukung pokok
negara adalah rakyat dan unsur rakyat adalah manusia itu sendiri, sehingga
tepatlah jikalau dalam filsafat Pancasila bahwa hakikat dasar antropologis sila-sila Pancasila adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila
secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan
rohani, sifat kodrat manusia adalah sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial,
serta kedudukan kodrat manusia
sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri
dan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa.
Kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai
makhluk Tuhan inilah maka secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan yang Maha
Esa mendasari dan menjiwai keempat sila-sila Pancasila yang lainnya
(Natonagoro, 1975: 53).
F. Dasar Epistemologis Sila-sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya
juga merupakan suatu sistem pengetahuan. Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila
merupakan pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas
alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta
sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam
hidup dan kehidupan. Pancasila dalam pengertian seperti yang demikian ini telah
menjadi suatu sistem cita-cita atau keyakinan-keyakinan (belief-system) yang
telah menyangkut praksis, karena dijadikan landasan bagi cara hidup manusia
atau suatu kelompok masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini berarti
filsafat telah menjelma menjadi ideologi (Abdulgani. 1986). Sebagai suatu
ideologi maka Pancasila memiliki tiga unsur pokok agar dapat menarikloyalitas
dari pendukungnya yaitu: 1. Logos yaitu rasionalitas atau penalarannya, 2.
Pathos yaitu penghayatannya dan 3. Ethos yaitu kesusilaannya (Wibisono, 1996:
3). Sebagai suatu sistem filsafat serta ideologi maka Pancasila harus memiliki
unsur rasional terutama dalam kedudukannya sebagai suatu sistem pengetahuan.
Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat
dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi
bersumber pada nilai-nilai dasarnya yaitu filsafat Pancasila (Soeryanto, 1991:
50). Oleh karena itu dasar epistemologis Pancasila tidak dapat dipisahkan
dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia kalau manusia basis ontologis
dari Pancasila, maka dengan demikian mempunyai implikasi terhadap bangunan
epistemologi, yaitu epistemologi yang ditempatkan dalam bangunan filsafat
manusia (Pranarka 1996: 32).
BAB III
PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK
A. Pengantar
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada kakikatnya
merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma
baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat
Pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis,
mendasar, rasional, sistematis dan komperhensip (menyeluruh) dan sistem
pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat
tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu
tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Panasila memberikan dasar-dasar yang
bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Adapun nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam
kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat,
bangsa maupun negara nilai-nilai tersebut dalam suatu norma-norma yang jelas
sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi: 1. Norma moral
yaitu yang berkaitan dengan tingkahlaku manusia dari sudut baik maupun buruk,
sopan ataupun tidak sopan, susila ataupun tidak susila. Dalam kapasitas
nilai-nilai Pancasila suatu norma-norma moralitas atau norma-norma etika
sehingga Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. 2. Norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan
sebagai sumber dari segala sumber hukum di negara Indonesia. Sumber dari segala
sumber hukum nilai-nilai Pancasila sejak dahulu merupakan suatu cita-cita moral
yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum
membentuk negara.
BAB IV
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI NASIONAL
A. Pengertian Asal Mula Pancasila
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa
dan negara Indonesia, terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang
dalam sejarah bangsa Indonesia.
Secara kausalitas Pancasila sebelum
disyahkan menjadi dasar filsafat negara nilai-nilainya telah ada dan berasal
dari bangsa Indonesia sendiri yang berupa nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan
dan nilai-nilai religius. Kemudian para pendiri negara Indonesia mengangkat
nilai-nilai tersebut dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral
yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang Panitia
Sembilan yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta yang memuat Pancasila yang
pertama kali, kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI kedua. Setelah
kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI Pancasila sebagai calon dasar
filsafat negara dibahas serta disempurnakan kembali dan akhirnya pada tanggal
18 Agustus 1945 disyahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat negara Republik
Indonesia.
B. Kedudukan dan Fungsi Pancasila
Pancasila sebagai objek pembahasan ilmiah memiliki ruang
lingkup yang sangat luas terutama berkaitan dengan kedudukan dan fungsi
Pancasila. Setiap kedudukan dan fungsi Pancasila pada hakikatnya memiliki makna
serta dimensi masing-masing yang konsekuensinya aktualisasinyapun juga memiliki
aspek yang berbeda-beda, walaupun hakikat dan sumbernya sama. Pancasila sebagai
dasar negara memiliki pengertian yang berbeda dengan fungsi Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia, demikian pula berkaitan dengan kedudukan dan
fungsi Pancasila yang lainnya.
Kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai titik sentral
pembahasan adalah kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara Republik
Indonesia, hal ini sesuai dengan kausa finalis Pancasila yang dirumuskan oleh
pembentuk negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia.
C. Bhineka Tunggal Ika
Sebagaimana diketahui bahwa walaupun bangsa Indonesia
terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang memiliki karakter, kebudayaan
serta adat-istiadat yang beraneka ragam, namun keseluruhannya merupakan suatu
kesatuan dan persatuan negara dan bangsa Indonesia. Penjelmaan persatuan bangsa
dan wilayah negara Indonesia tersebut disimpulkan dalam PP. No. 66 Tahun 1951,
17 Oktober dan diundangkan tanggal 28 Nopember 1951 dan termuat dalam Lembaran
Negara No. II/ Tahun 1951 yaitu dengan lambang negara dan bangsa, burung garuda
Pancasila dengan seloka Bhinneka Tunggal Ika.
Hakikat makna Bhinneka Tunggal Ika yang memberikan suatu
pengertian bahwa meskipun bangsa dan negara Indonesia terdiri atas
bermacam-macam suku bangsa yang memiliki adat-istiadat, kebudayaan serta
karakter yang berbeda-beda, memiliki agama yang berbeda-beda dan terdiri atas
beribu-ribu kepulauan wilayah nusantara Indonesia, namun keseluruhannya adalah
merupakan suatu persatuan yaitu persatuan bangsa dan negara Indonesia.
Perbedaan itu adalah merupakan suatu bawaan kodrat manusia sebagai makhluk
Tuhan yang Maha Esa, namun perbedaan itu untuk dipersatukan disintesakan dalam
suatu sintesa yang positif dalam suatu negara kebersamaan, negara persatuan
Indonesia (Notonagoro, 1975: 106).
D. Negara Kebangsaan Pancasila
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah
yang cukup panjang, sejak zaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit serta
dijajah oleh bangsa asing selama tiga setengah abad. Unsur masyarakat yang
membentuk bangsa Indonesia terdiri atas berbagai macam suku bangsa, berbagai
macam adat-istiadat kebudayaan dan agama, serta berdiam dalam suatu wilayah
yang terdiri atas beribu-ribu pulau. Keadaan yang beraneka ragam tersebut
bukanlah merupakan suatu perbedaan untuk dipertentangkan, melainkan perbedaan
itu justru merupakan suatu daya penarik kearah suatu kerjasama persatuan dan
kesatuan dalam suatu sintesa dan resultan, sehingga keanekaragaman itu justru
terwujud dalam suatu kerjasama yang luhur.
Sintesa persatuan dan kesatuan tersebut
kemudian dituangkan dalam suatu asas kerokhanian yang merupakan suatu
kepribadian serta jiwa bersama yaitu Pancasila. Prinsip-prinsip nasionalisme
Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat “majemuk tunggal”. Adapun unsur-unsur yang membentuk nasionalisme
bangsa Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Kesatuan Sejarah, bangsa Indonesia
tumbuh dan berkembang dari suatu asas proses sejarah, yaitu sejak zaman prasejarah,
zaman Sriwijaya, Majapahit kemudian datang penjajah, tercetus Sumpah Pemuda
1928. Dan akhirnya memproklamasikan sebagai bangsa yang merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia.
2.
Kesatuan Nasib, yaitu bangsa Indonesia
karena memiliki kesamaan nasib yaitu penderitaan penjajahan selama tiga
setengah abad dan memperjuangkan demi kemerdekaan secara bersama dan akhirnya
mendapatkan kegembiraan bersama atas karunia Tuhan yang Maha Esa tentang
kemerdekaan.
3.
Kesatuan Kebudayaan, walaupun Indonesia
memiliki keanekaragaman kebudayaan nasional Indonesia. Jadi kebudayaan nasional
Indonesia tumbuh dan berkembang diatas akar-akar kebudayaan daerah yang
menyusunnya.
4.
Kesatuan wilayah, bangsa ini hidup dan
mencari penghidupan dalam wilayah Ibu Pertiwi, yaitu tumpah darah Indonesia.
5.
Kesatuan asas kerokhanian, bangsa ini
sebagai satu bangsa memiliki kesamaan cita-cita, kesamaan pandangan hidup dan
filsafat hidup yang berakar dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri
yaitu pandangan hidup Pancasila (Notonagoro, 1975: 106).
E. Hubungan Negara dengan Agama Menurut
Paham Theokrasi
Hubungan negara dengan agama menurut paham theokrasi
bahwa antara negara dengan agama tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan
agama, pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata
kehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara didasarkan atas firman-firman
Tuhan. Dengan demikian agama menguasai masyarakat politis (Heuken dalam Suhadi,
1998: 114). Dalam praktek kenegaraan terdapat dua macam pengertian negara
Theokrasi, yaitu Negara Theokrasi Langsung dan Negara Theokrasi tidak Langsung.
1.
Negara Theokrasi Langsung
Dalam sistem
negara Theokrasi Langsung, kekuasaan adalah langsung merupakan otoritas Tuhan.
Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan yang memerintah
adalah Tuhan.
Doktrin-doktrin
dan ajaran-ajaran berkembang dalam negara Theokrasi Langsung, sebagai upaya
untuk memperkuat dan meyakinkan rakyat terhadap kekuasaan Tuhan dalam negara
(Kusnadi, 1995: 60).
Dalam sistem
negara yang demikian maka agama menyatu dengan negara, dalam arti seluruh
sistem negara, norma-norma negara adalah merupakan otoritas langsung dari Tuhan
melalui wahyu.
2.
Negara Theokrasi Tidak Langsung
Negara Theokrasi tidak langsung bukan Tuhan sendiri yang
memerintah dalam negara, melainkan Kepala Negara atau Raja, yang memiliki
otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau Raja memerintah negara atas
kehendak Tuhan. Sehingga kekuasaan dalam negara merupakan suatu karunia dari
Tuhan.
F. Hubungan Negara dengan Agama Menurut
Sekulerisme
Paham sekulerisme membedakan dan memisahkan antara agama
dan negara. Dalam suatu negara yang berpaham sekulerisme bentuk, sistem, serta
segala aspek kenegaraan tidak ada hubungannya dengan agama. Sekulerisme
berpandangan bahwa negara adalah masalah-masalah keduniawian hubungan manusia
dengan manusia, adapun agama adalah urusan akherat yang menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhan.
Dalam negara sekulerisme sistem norma-norma hukum positif
dipisahkan dengan nilai-nilai dan norma-norma agama. Konsekuensinya hukum
positif sangat ditentukan oleh komitmen warga negara sebagai pendukung pokok
negara, walaupun ketentuan hukum positif itu bertentangan dengan agama. Negara
adalah urusan hubungan horisontal antar manusia dalam mencapai tujuannya,
adapun agama adalah menjadi urusan umat masing-masing agama. Walaupun dalam
negara sekuler membedakan antara negara dengan agama, namun lazimnya warga
negara diberikan kebebasan dalam memeluk agama masing-masing.
BAB V
PANCASILA DALAM
KONTEKS
KETATANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA
A. Pengantar
Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan suatu asas
kerokhanian dalam ilmu kenegaraan populer disebut sebagai dasar filsafat negara
(Philosofische Gronslag). Dalam
kedudukan ini Pancasila merupakan sumber nilai dan sumber norma dalam setiap
aspek penyelenggaraan negara, termasuk sebagai sumber tertib hukum di negara
Republik Indonesia. Konsekuensinya seluruh peraturan perundang-undangan serta
penjabarannya senantiasa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila.
Dalam konteks inilah maka Pancasila merupakan suatu
sumber nilai, norma dan kaidah baik moral maupun hukum dalam negara Republik
Indonesia. Kedudukan Pancasila yang demikian ini justru mewujudakn fungsinya
yang pokok sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang manifestasinya
dijabarkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pancasila merupakan sumber
hukum dasar negara baik yang tertulis yaitu Undang-Undang Dasar negara maupun
hukum dasar tidak tertulis atau convensi.
Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan
atas hukum, segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara diatur
dalam suatu sistem peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian inilah maka
negara dilaksanakan berdasarkan pada suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar
negara. Pembagian kekuasaan, lembaga-lembaga tinggi negara, hak dan kewajiban
warga negara, keadilan sosial dan lainnya diatur dalam suatu Undang-Undang
Dasar negara. Hal inilah yang dimaksud dengan pengertian Pancasila dalam
konteks ketatanegaraan Republik Indonesia. Dalam pembahasan ini tidak dapat
dilepaskan dengan eksistensi Pembukaan UUD 1945, yang merupakan deklarasi
bangsa dan negara Indonesia, yang memuat Pancasila sebagai dasar negara, tujuan
negara serta bentuk negara Republik Indonesia. Oleh karena itu Pembukaan UUD
1945 dalam konteks ketatanegaraan Republik Indonesia memiliki kedudukan yang
sangat penting karena merupakan suatu staasfundamentalnorm,
dan berada pada hierarkhi tertib hukum tertinggi di Negara Indonesia.
B.
Pembukaan UUD
1945 sebagai Tertib Hukum Tertinggi
Kedudukan Pembukaan UUD 1945 dalam kaitannya dengan
tertib hukum Indonesia memiliki dua aspek yang sangat fundamental yaitu:
pertama, memberikan faktor-faktor mutlak bagi terwujudnya tertib hukum
Indonesia. Dan kedua, memasukan diri dalam tertib hukum Indonesia sebagai
tertib hukum tertinggi.
Dalam kedudukan dan fungsi Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia, setiap aspek penyelenggaraan negara
termasuk dalam penyusunan tertib hukum Indonesia. Maka kedudukan Pancasila
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia.
Penjelasan tentang isi Pembukaan UUD 1945,
dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7, dijelaskan bahwa Pembukaan UUD
1945 yang didalamnya terkandung Pokok-pokok Pikiran, yang meliputi suasana
kebatinan dari UUD Negara Indonesia, serta mewujudkan suatu Cita-cita Hukum,
yang menguasai hukum dasar tertulis (UUD) maupun hukum dasar yang tidak
tertulis (convensi). Pokok-pokok Pikiran tersebut dijelmakan (dikrongkritisasikan)
dalam pasal-pasal UUD 1945. Dalam pengertian ini dapat disimpulkan bahwa
Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai sumber
hukum positif Indonesia.
Sebagaimana isi yang terkandung dalam
penjelasan resmi Pembukaan UUD 1945, maka konsekuensinya nilai-nilai yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 selanjutnya harus dikongkritisasikan
kedalam pasal-pasal UUD 1945 dan selanjutnya dalam realisasinya kemudian
dijabarkan dalam peraturan-peraturan hukum positif dibawahnya, seperti
Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
RESUME
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Oleh Bapak Muhammad Ali Andrias., S.ip.,
M.si.
Disusun Oleh:
Nama : yosef
nursyamsi
NPM : 123507022
FROGRAM STUDY
ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SILIWANGI
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar