Diskriminasi Negara Dan Mayoritas Terhadap Minoritas
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Oleh:Yosef Nursyamsi
123507022
Indonesia merupakan Negara demokrasi terbesar ke tiga di
dunia,sebagai Negara demokrasi Indonesia mulai diakui oleh dunia luas khususnya
oleh Negara Negara barat setelah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum yang
pertama pada tahun 1955,bahkan pemilihan umum pada saat itu di pandang oleh
dunia barat sebagai penyelenggaraan pemilihan umum yang paling
demokratis,dimana warga Negara berperan aktip dalam berfartisipasi politik,dan
diberikan jaminan oleh Negara untuk mengeluarkan pendapat,berkumpul dan
berserikat bahkan warga Negara diberikan kebebasan untuk mendirikan berbagai
elemen organisasi dan partai politik sesuai dengan idiologi yang diyakini oleh
setiap warga Negara.pemilihan umum yang pertama ini tercatat diikuti oleh 172
kontestan partai politik dengan empat partai besar pemenang pemilihan umum.
Pencapaian demokrasi procedural ini ternyata tidak dibarengi dengan
pencapaian demokrasi substansional,Negara Indonesia dianggap telah gagal dalam
mengimplementasikan substansi dari proses demokratisasi itu sendiri,hal ini
terlihat dari peran dan kebijakan orde lama sampai orde baru dalam menerapkan
kebijakan perihal supremasi hokum,keadilan dan penegakan hak asasi
manusia.padahal dua komponen tersebut merupakan hal paling penting dan mendasar
yang harus dijunjung tinggi oleh Negara demokrasi.
Supremasi hokum dianggap” tumpul keatas dan tajam kebawah”, bagi
para tokoh dan elit pemerintahan seakan memiliki hak imunitas terhadap berbagai
pelanggaran dan sangsi hokum.hukum justru dijadikan instrument legitimasi untuk
melanggengkan kekuasaan dan kedudukanya,sementara masyarakat kecil harus
berjuang tanpa hasil mencari keadilan atas hokum.pemerintahan yang represif dan
cenderung “dictator”terus merestrick ruang fublik bahkan menganggap subversive
terhadap masyarakat yang tidak sejalan dan searah dengan kebijakan pemerintah.
Permasalan HAM juga
dipandang sebagai isu global yang sangat menyita perhatian dunia.terutama di
masa rezim orde lama dan orde baru berkuasa,konfrontasi dan pelenyapan nyawa
warga Negara yang dianggap subversive terhadap eksistensi pemerintahan dan NKRI
kerap terjadi diberbagai wilayah Indonesia.
Pasca reformasi permasalahan HAM mulai mengalami pergeseran
pandangan dari yang bersifat represif dan kekerasan oleh Negara terhadap ex
anggota,keluarga,dan relasi organisasi yang dianggap subversive bergesar
menjadi penegakan HAM yang bersifat diskriminatif terhadap masyarakat minoritas
baik yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas maupun oleh Negara melalui
serangkaian kebijakan yang merestrick bahkan menderogable masyarakat minoritas.
Hak asasi manusia pada dasarnya merupakan hak hak yang harus
dimiliki dan diterima oleh setiap individu sesuai dengan kodrat yang
sesungguhnya tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi sebagai mahluk ciptaan
tuhan yang maha esa.
Di Indonesia sendiri pengertian HAM telah diatur dalam uu no 39
tahun 1999 pada pasal satu yang menjelaskan sebagai” Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. artinya setiap warga Negara
dijamin keberadaanya dan kebebasanya oleh konstitusi Negara dalam menjalankan
setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara setiap orang dan Negara di
tuntut memiliki toleransi dan kesadaran hokum terhadap individu lainya untuk
menjalankan aktifitasnya tanpa adanya restrick(batasan) bahkan bersifat non
derogable (tidak bias dibatasi dalam keadaan apapun) kecuali oleh undang undang
apabila bersipat negatip dan mengancam stabilitas Negara.
Pada kenyataanya UU no 39 tahun 1999 ini hanya bersifat semantic
daripada normative,mengingat masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi di
Indonesia baik yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas dan Negara terhadap
masyarakat yang minoritas melaui berbagai kebijakan yang dibuat.
a)
Diskriminatif Masyarakat Mayoritas Terhadap Keberadaan Masyarakat
Minoritas
Diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya”(uu no 39/1999).
Proses diskriminasi itu sendiri lahir ketika masyarakat melihat
suatu perbedaan antara dirinya atau kelompok yang satu dengan kelompok
lainya,sehingga akan melahirkan perasangka dan stigma negatip tentang
keberadaan kelompok lainya dimana kelompok yang mayoritas selalu menganggap
dirinya sebagai kelompok yang superior dan melegitimasi setiap tindakanya sebagai
suatu kebenaran yang harus diterima oleh masyarakat minoritas yang apriori.
Prasangka histories dan perasaan superioritas mayoritas terhadap
minoritas sangat sulit di hilangkan terutama dalam permasalahan SARA,salah satu
contohnya adalah:
a.
Penolakan
pembangunan gereja di kota bekasi.
Sikap masyarakat muslim sebagai mayoritas di kota bekasi dalam
menolak pembangunan tempat ibadah gereja HKBP PT menjadi suatu bukti bagi
lemahnya sikap toleransi antar umat beragama serta kurangya penegakan HAM
Adanya pembangunan gereja
ini di pandang oleh masyarakat muslim sebagai suatu perasangka histories
terhadap minoritas Kristen sebagai misionaris yang bertujuan untuk menyebarkan
agama Kristen,selain itu umat muslim sebagai mayoritas menganggap dirinya
superior diatas masyarakat Kristen minoritas yang harus tetap
didominasi,terjadinya dominasi mayoritas ini bertujuan untuk mengukuhkan
pengaruh dan kepentingan mayoritas sekaligus mempertahankan setatus atau posisi
yang ada sekarang( status quo) dan menahan proses perubahan social yang
dimungkinkan akan mengacaukan status trsebut.
Minoritas Kristen tidak hanya terdiskriminasikan dalam permasalahan
beragam,namun juga teralienasi dari kehidupan bermasyarakat lebih jauhnya sikap
in-group felling yang berlebihan dalam masyarakat mayoritas kerap kali
menstigmakan “sesat” terhadap agama dan keyakinan yang lainya dan lambat laun
terfragmentasi menjadi kebencian dan penistaan terhadap agama minoritas.
Permasalahan mayoritas juga terjadi di daerah Indonesia bagian timur dimana mayoritas
Kristen mendiskriminasikan minoritas muslim.kondisi seperti ini menjadi konflik
laten antar umat beragama yang apabila terdapat trigger sekecil apapun akan
menjadi isu dan konflik besar berkelanjutan.
b.
Kasus
lainya seperti pelarangan terhadap jalanya penyelenggaraan ibadat ahmadiyyah
dan syiah
b)
.Diskriminasi Negara Terhadap Masyarakat Minoritas
Sebagai
supra struktur Negara pemerintahan Indonesia seharusnya memiliki power control
terhadap penegakan HAM yang mendeskriditkan masyarakat minoritas,akan tetapi
pada kenyataanya pemerintahan justru kerap kali mengeluarkan kebijakan yang
dianggap mendeskriminasikan masayarakat minoritas tersebut dan memiliki
kepentingan bagi masyarakt mayoritas diantara kebijakan tersebut adalah tidak
adanya afirmasi bagi suku pribumi di pedalaman yang secara turun temurun masih
memegang teguh kepercayaan nenek moyang,padahal mereka sebagai warga Negara
yang juga berhak atas kebebasan beragama dan telah hadir di wilayah nusantara
sebelum Negara ini terbentuk.
Masyarakat minoritas pedalaman terkonfirmasi dalam catatan sipil
seperti kepemilikan dikarenakan agama atau keyakinan yang mereka anut tidak
termasuk kedalam agama yang diakui oleh Negara,implikasinya mereka kehilangan
hak politik dan sipilnya sebagai warga Negara bahkan untuk urusan pernikahan
harus melalui serangkaian regulasi yang rumit dan panjang,seperti harus mealalui
dinas budaya pariwisata sebelum di catat
di dinas pencatatan sipil karena KUA dan pengadilan pencatatan sipil belum
mengakui keyakinan mereka.
Permasalan agama ini semakin terkonfirmasi dalam uu no 1/pnps/1965
tentang penistaan agama atau penodaan agama yang menuai polemic dan telah di
judicial review ke mahkama konstitusi mengenai pasal satu yang menjelaskan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka
umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk
melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama
itu, penafsiran dan kegiatannya”.
Undang undang ini secara otomatis mengdiskriminasikan keyakinan dan
agama selain agama yang di akui oleh Negara
seperti:islam,Kristen,budha,hindu,konghucu,ditambah lima keyakinan
yahudi,Shinto dan taosim.dilihat dari penegakan HAM undang undang mengenai
penistaan agama jelas telah melanggar konvensi internasional mengenai HAM yang
telah diratifikasi oleh Indonesia karena telah meresrtick kebebasan individu
dalam beragama yang pada hakekatnya menjadi hak bagi manusia yang bersifat non
derogable.akan tetapi disisi lain undang undang ini di perlukan oleh Negara ini
untuk diperuntukan sebagai instrument terhadap konflik horizontal antar umat
beragama yang apabila undang undang ini di cabut maka akan terjadi multi tafsir
apabila negar mengintervensi atau mengontrol konflik yang berlatar belakang
agama sehingga tidak ada lagi landasan hokum bagi Negara untuk memediasi
konflik tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar