Tampilkan postingan dengan label budaya poitik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya poitik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Juni 2017

konsep ekonomi politik

   Konsep Ekonomi Politik

Sebelum membahas konsep dan teori tentang ekonomi politik, terlebih dahulu harus di fahami tentang metode dan atau pendekatan dalam ekonomi politik. Pendekatan dalam ekonomi politik sendiri menurut Ikbar (2007: 2) bersifat fleksibel dan elektis, fleksibel artinya dapat memformulasikan dirinya ke dalam berbagai substansi dan konstektualitas keilmuan dalam kerangka interdisipliner. Sedangkan elektis diartikan bahwa ia dapat menjadi dirinya sendiri dan dapat pula dikatakan sebagai suatu perpaduan dari serangkaian sudut pandang, cara, dan alat analisis yang bersumber dari disiplin lain yang sudah menjadi bagian dari ekonomi politik karena sebab akibat, keterhubungan korelatif, dan linkages dalam proses interdisipliner filsafat dasarnya, yang kelak berhubungan dengan dunia idioligismenya dan dunia tindakan.
Pendekatan ekonomi menurut Y King (dalam Ikbar, 2007: 2) ialah sebagai alat analisis yang menitikberatkan kepada kekuasaan politik sebagai variabel dominan. Pengamatannya banyak tertuju pada segi-segi politik yang mengubah aspek-aspek ekonomi (Prisma, No. 3, 1989). Pandangan ini berbeda dengan mahzab sosialis di mana mereka secara agresif menempatkan pendekatan ekonomi politik berupa neo-political economy, yang alat analisisnya (salah satu makna pendekatan) mengaplikasikan asumsi-asumsi bahasa maupun logika ekonomi politik neo-klasic kedalam seluruh rentangan pembuatan keputusan publik maupun private. penganut faham ini umumnya menganggap politik bukan sebagai sebab, tetapi akibat proses produksi, dan lebih jauh lagi pusat perhatiannya diarahkan pada pertentangan kelas-kelas masyarakat.
Saat ini orang-orang penstudi ekonomi politik sudah mulai menemukan identitas terpenting dalam studi ini, yaitu adanya dua bidang tema hubungan yang saling mempengaruhi, melengkapi atau saling berkaitan dan bahkan dikaitkan antara suatu keadaan, kejadian, peristiwa, gejala ataupun fenomena kehidupan dalam dunia ‘economestrics’ dan dunia ‘politics’, baik hubungan yang bersifat kausal, korelasional, dan perkaitan atau linkages serta inter-linkages yang erat dengan model deterministik. Sebagaimana Staniland ( dalam Ikbar, 2007: 3) menyebutkan:
bagaimana politik menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana ekonomi menentukan proses-proses politik (Staniland: 5) atau pandangan yang mengambil model interaktif yang secara fungsional membedakan dunia ekonomi dan politik tetapi keduanya mempunyai pengaruh reciprocal”

kedua bidang ekonomi dan politik (Ikbar, 2007: 3-4) dimaksud, secara explanatory dan normative sesungguhnya saling komplementasi, tergantung kepada keperluan mana ia ditempatkan, ia berhubungan satu dengan lainnya dalam upaya menjelaskan bagaimana hubungan antara bidang ekonomi dan bidang politik berproses serta dapat berkaitan melalui pengaruh yang bersifat timbal balik, misalnya pada filsafat dasar kausalitas; mana yang sebab dan mana yang akibat. Sisi yang paling dominan akan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang berlaku, bisa saja proses politik lebih dominan dibandingkan aspek-aspek ekonomi, atau sebaliknya. Adakalanya orang berpikir lebih aman jika menempatkan hubungan determinasi ekonomi dan politik dalam perilaku korelasional karena menganggap hubungan yang terjadi di antara keduanya diidentifikasikan berdasarkan ketidaklangsungan variabel (akibat berbagai faktor X atau lainnya diluarnya), dan akhirnya ditarik suatu kesimpulan, atau bahkan hubungan yang tidak bersangkut paut sama sekali, namun dicobakaitkan satu sama lain untuk ditarik kesimpulan adanya hubungan faktor politik dan faktor ekonomi. Secara logika dapat dicontohkan hubungan tersebut sebagaimana pernyataan:
1)      Kemarau panjang tanah menjadi kering (kausalitas)
2)      Kemarau panjang menimbulkan kelaparan (korelasional)
3)      Kemarau panjang dan maraknya kejahatan (perkaitan/linkages)
Ekonomi politik menurut Ikbar (2007: 4-5) secara teoritikal tidak dapat dikaji secara sendiri-sendri dalam arti ada bidang ekonomi secara terpisah dan ada bidang politik secara terpisah juga. Pemisahan dunia ekonomi dan politik kini sudah mulai dipadukan melalui sejumlah konsep dan teori ekonomi politi yang dialektika, deterministik, dan interaktif dengan kecenderungan aktor-aktor ekonomi yang harus mencermati aspek-aspek politik. Demikian juga sebaliknya, politik harus memberi perhatian kepada berbagai aspek ekonomi secara timabal-balik. Gilpin (1987) memberi idea-idea dengan membuka sejumlah pertanyaan untuk mencari tahu konsep-konsep ekonomi politik:
“bagaimana negara dan proses politik yang terkait di dalamnya mempengaruhi produksi dan distribusi kekayaan, bagaimana keputusan-keputusan politik dan kepentingan-kepentingan yang ada mempengaruhi lokasi aktivitas ekonomi tersebut, dan dengan cara apa sebaliknya, serta bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi mempengaruhi penyebaran leluasaan dan kemakmuran diantara aktor-aktor politik dan di antara negara-negara. Akhirnya, bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi tersebut mengubah distribusi politik dan militer para peringkat internasional”.

Ekonomi politik menurut Ikbar (2007: 7-8) dapat diidentifikasikan dari beberapa pokok perhatian diantaranya adalah sebagai suatu kajian daripada berbagai peristiwa, fakta, fenomena, dan gejala yang ditimbulkan oleh efek kebijaksanaan (policy/strategi) pemerintah dalam berbagai aspek yang langsung berkaitan dengan proses hubungan dimensi antara negara, rakyat, dan lingkungan hidupnya. Sedangkan batasan-batasan dalam proses pembentukan teori ekonomi politik diantaranya adalah: pertama teori-teori parsimoni[1] dapat merupakan kekuatan yang eksplanatif, namun bersifat terbatas yang dapat digunakan sebagai titik awal suatu penelitian. Kedua  teori-teori siklus historis dan perubahan historis (termasuk pemahaman tentang tingkah laku manusia/behavoral) yang membatasi bidang generalisasi hukum empirik dan historis.
Lebih lanjutnya, Staniland dalam Ikbar (2007: 8) menyebutkan dengan sederhana tentang pembangunan subsequent yang dijelaskanya sebagai berikut:
1)      Ortodox liberalism, cenderung melakukan analisis dan normatif individu (khususnya sikap dan kepentingan) masyarakat sebagai suatu agregasi atau suatu hasil pencarian kepentingan individu, negara sebagai agen untuk mengikuti kepentingan individu.
2)      Kritik sosial dari liberalisme menyerang asumsi liberal yang secara individu ada dan melakukan isolasi, yang kemudian kembali bereaksi melaui penegasan bahwa “masyarakat” membentuk tingkah laku individu. Secara metodelogi kolekivisme, ia merupakan suatu jaraj menentang terhadap individualisme. Bentuk permintaan dari penjelasan sosial lebih jauh dipilah dalam garis perbedaan yang dierima oleh masyarakat dan nefara berupa:
a.       Economism,  yang menyatakan (sebagaimana yang dilakukan liberal) bahwa proses politik merupakan suatu hasil dari proses bukan politik, tetapi liberal melihat proses politik sebagai suatu hasil dari interaksi antara tekanan sosial. Tekanan tersebut (diperkirakan sebagaimana halnya marxisme) menjadi kelas-kelas, atau seperti dalam teori prulalistic dengan kelompok-kelompok kepentingan. Namun demikian, dalam kedua kasus peluang kedua negara atau lainnya yang lebih spesifik, struktur politik tersusun, dan bereaksi untuk menunjukan kepentingan mereka sendiri yang diperluas.
b.      Politicsm, yang menyatakan bahwa struktur politik dapat membangun kepentingan mereka sendiri dan dapat mengganggu kepentingan mereka tersebut pada kepentingan ekonomi spesifik, “rasionalitas politik” (untuk menggunakan formulasi lain) dapat berlaku atas rasionalitas ekonomi: “power” dilihat sebagai fundamen untuk pembentukan sistem ekonomi.
Proses timbal balik ekonomi dan politik menurut Ikbar (2007: 10-11) paling tidak dipengaruhi oleh tiga unsur penting, tentang cara di mana faktor politik mempengaruhi hasil ekonomi, yaitu:
1)      Sistem politik membentuk sistem ekonomi, karena struktur dan kerja sistem ekonomi internasional (dalam arti luas) ditentukan pula oleh struktur dan kerja sistem politik internasional
2)      Pandangan-pandangan politik seringkali membentuk kebijakan ekonomi, oleh sebab kebijakan ekonomi pada umumnya didikte oleh kepentingan-kepentingan politik
3)      Hubungan ekonomi internasional itu sendiri merupakan hubungan politik, karena interaksi ekonomi internasional seperti interaksi politik internasional, merupakan proses dimana aktor negara dan bukan negara melakukan dan atau mengalami:
a)      Mengatasi konflik atau kegagalan mengatasi konflik
b)      Bekerjasama atau mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu hubungan atau subordinasi antara pemerintah dan pasar akan saling mempengaruhi, hal tersebut menurut Lindblom dalam Ikbar (2007:13) akan menghasilkan suatu bentuk figur dominasi dari salah satunya. Dasar dari ekonomi politik tersebut adalah pasar, kekuasaan negara, dan persuasi. Secara teoritis dikemukakan hubungan antara negara, pengelasan, dan hubungan ekonomi dalam tiga bentuk:
1)      Negara memiliki kekuatan yang mengatur dan mengontrol dinamika sosial
2)      Merupakan kebalikan dari konsep diatas (1) dimana negara adalah alat kaum elit yang menjalankan kepentingan dari kelas sosial yang mendominasi
3)      Negara di pandang sebagai bagian dari suatu kompleks proses sosial, politik dan ekonomi dimana didalamnya terkandung gabungan antara proses-proses kenegaraan dan proses dalam kelas sosial. Proses negara dan kelas sosial bertemu dalam suatu titik berupa aktivitas produksi dan distribusi.
Sumber Ikbar, Yanuar. 2007. Ekonomi politik internasional 2 implementasi konsep dan teori. Refika Aditama: Bandung









[1]Pada teori yang bersifat parsimoni  menurut Ikbar (2007:7) dapat diamati berupa proses memproyeksikan berbagai teori untuk dapat menjelaskan atau bahkan memprediksikan sesuatu realitas umum (general) dari realitas yang khusus. Disini terkandung sejumlah variabel dari berbagai kemungkinan dengan bagiannya yang kecil-kecil pula, sehingga dapat untuk menjelaskan segala bentuk interaksi dalam ekonomi politik. Contohnya para aktor pembuat keputusan meyakini penuh adanya implikasi kebijaksanaan pemerintah negara yang memfokuskan keuntungan komparatif berdasarkan teori general yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk melihat gejala kekhususannya. 

Minggu, 01 November 2015

Peran Pembisik Elit Pesantren Dalam Formulasi Peraturan Daerah (Perda) no. 7 Tahun 2014 Mengenai Tata Nilai Religius Kota Tasikmalaya

Judul:Peran Pembisik Elit Pesantren Dalam Formulasi Peraturan Daerah (Perda) no. 7 Tahun 2014 Mengenai Tata Nilai Religius Kota Tasikmalaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesantren pada dasarnya lahir dan berkembang ditengah masyarakat sebagai sebuah medium antara kiyai dan santri,dimana kiyai diyakini sebagai orang atau tokoh yang mengerti dan faham semua urusan agama,sosial,culture dan nilai nilai yang berkembang di tengah masyarakat(baik dan buruk),sedangkan santri diposisikan sebagai bagian dari masyarakat yang awam terhadap urusan agama dan bermukim dipondok pesantren sebagai upaya menuntut ilmu agama,sosial culture dan nilai nilai yang kelak bermanfaat baik dari dimensi agama maupun kemasyarakatan. Cara pandang masyarakat khususnya santri yang demikian,secara tidak langsung disadari atau tanpa disadari telah melahirkan pengkultusan bahwa sosok kiyai yang banyak mengetahui dan memahami semua dimensi keagamaan sebagai manusia purna yang suci dan anti dosa(insan kamil)akibatnya setiap tindakan dan ucapan kiyai harus dipatuhu tidak terkecuali sikap ta’jim terhadap kiyai. Keberadaan pesantren pada awalnya hanya terbatas pada dimensi otestik(keagamaan)dan selebihnya hanya menilai baik burujnya sosioculture masyarakat,akantetapi seiring berjalanya waktu dan kondisi sosial terlebih munculnya kolonialisme di nusantara memicu reaksi dari elit pesantren terhadap segala bentuk kolonialisme,terutama adanya prasangka dan kekwatiran kaum ulama terhadap tujuan kedatangan kolonialisme yang mengusung gagasan 3G(gold,glory dan gospel). Sikap akan kekwatiran para kiyai ini diartikulasikan dalam bentuk resistensi terhadap kolonialisme dengan jalan perlawanan baik fisik maupun psikis.perjuangan dan pemikiran melawan kolonialisme terus di gelorakan demi tegaknya syariat dan kebebasan menjalankan agama sekaligus counter attack terhadap subculture 3G kolonialisme,dengan kata lain pesantren mulai memainkan perananya dalam politik kebangsaan. Perjuangn dan pemikiran elit pesantren dalam politik kebangsan ini mulai meminimalisir gave antara dimensi otestik dan dimensi profane,hal ini membuktikan bahwa permasalahan agama dan agamam memiliki relevansi yang erat terhadao eksistensi umat dan tidak bisa di lepaskan begitu saja tanpa control dan “fatwa”. Dinamika pesantren dan negara(politik) tidak hanya berhenti pada masa kolonialisme,jauh dari itu kepentingan elit pesantren dan negara mencapai titik kulminasi disaat terjadinya arbitrase antara tokoh pesantren yang menginginkan daulah islamiyah dengan tokoh nasionalisdalam perumusan dasar dasar konstitusi negara yang terdapat dalam konstitusi pancasila atau piagam jakarta. Kekalahan barganing power dan position elit pesantren dalam pormulasi konstitusi negara ini menjadi triger terhadap munculnya sikap ekstrimisme faham islam militan (legal ekslusive) yang menginginkan terbentuknya negara syariat islam,dan hal ini pula yang menjadikan alergi terhadap ideologi islam dikalangan nasionalis dan moderat. Meskipun demikian eksistensi elit pesantren “ideologi islam “khususnya yang terfersonapikasikan dalam refresentasi partai politik masyumi dan NU kerap kali menunjukan barganing position dan power ,hal ini nampak pada elektabilitas partai tersebut yang mampu menempati posisi 4 besar di pemilu era soekarno.hal ini pula yang menjadi cikal bakal lahirnya ideologi nasakom sebagai instrumen politik soekarno dalam mempertahamkan eksistensi kepemimpinanya,dilain pihak ideologi nasakom justru menjadi titik awal sentimen negatip elit islam terhadap legitimasi soekarno yang mulai ke “kiri-kirian”. Memasuki era soeharto,ideologi islam khususnya partai politik masyumi dan pecahanya mulai teralienasi dan terdiskriminasi bahkan prtai masyumi dibekukan karena dianggap subversif.sikap alergi terhadap partai berideologi islam tergambar jelas pada peristiwa “fusi” peleburan partai partai islam yang direfresentasikan kedalam PPP dengan monoideologi yaitu pancasila.hal serupa juga terjadi pada pesantren yang pada awalnya memiliki control kuat terhadap masyarakat maupun negaramulai di cooptasi oleh soeharto dan dijadikan instrumen politik melalui “political culture”terlebih adanya khitahh pada muhtamar NU yang menghendaki para kiyai untuk kembali kepesantren tanpa berjuang di kancah politik praktis dan politik struktural. Pasca reformasi euforia kebebasan berserikat dan berpendapat dalam demokrasi dirasakan juga oleh pesantren,elit elit pesantren seakan turut berkompetisi dalam politik praktis dan struktural,terlebih dengan adanya desentralisasi yang memungkinkan daerah memiliki otonomi dalam mengurus pemerintahanya sendiri menjadi angin segar bagi elit pesantren dalam menerapkan nilai nilai keislaman (syariat)dalam regulasi peraturan daerah,ditengah kekalahanya selama ini dalam membentuj negara syariat. Formulasi perda syariat ini bukan hanya dilakukan oleh elit pesntren yang menjadi kepala daerah akan tetapi juga menjadi suatu perwujudan dari deal deal politik antar kepala daerah dengan elit pesantren yang menjadi vote gatter dalam terpilihnya kepala daerah tersebut. Keberadaan pesantren dan elit pesantren dikota tasikmalaya sengatlah berpengaruh terhadap perilaku politik dan budaya politik masyarakat tasikmalaya terutama pemilih tradisional.eksistensi elit pesantren sebagai tokoh yang kharismatik kerap kali menghasilkan deal deal politik antar elit pesantren dan kepala daerah terpilih.diantara deal deal politik tersebut adalah diterbitkanya perda syariah di kota tasikmalaya saat kepemimpinan syarief.pada masa kepemimpinan syarief ini dikeluarkan perda no / tentang tata nilai kota tasikmalaya dan hal ini diyakini sebagai deal politik antara sayarief dan elit pesantren dalam pemenangan pemilu. Hal serupa juga terjadi pada masa kepemimpinan budi dede perda mengenai tata nilai religius kota tasikmalaya dalam perda no 7 tahun 2014 mengisyaratkan bahwa eksistensi elit pesantren selalu berada dibalik kesuksesan kepala daerah dalam pemengan pemilu. Elit elit pesantren seakan memainkan peran penting dalam formulasi setiap kebijakan yang berhubungan langsung dengan tata cara dan nilai yang berkembang dimayarakat,hal ini tidak terlepas dari cita cita pendahulu pesantren kususnya ditasikmalaya yang menginginkan daulah islamiyah. Melihat dinamika yang terjadi antara pesantren dan politik diatas khususnya keberadaan elit pesantren di kota tasikmalaya yang kerap kali terlibat dalam deal deal politik dan selalu menghasilkan perda syariah di setiap pergantian pemimpin daerah sangat menarik untuk dikaji baik dari segi literatur maupun realitas emperis.untuk menjawab ketertarikan tersebut penulis bermaksud menyusun masalah ini dalam tulisan yang berjudul”peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius di kota tasikmalaya” 1.2 Rumusan Masalah dari uraian latarbelakang diatas maka untuk dapat menjawab persoalan yang terjadi perihal dinamika pesantren dan politk,penulis merummuskan permasalahan ini dengan fokus:bagaimana peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no7 tahun2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya? 1.3 Batasan masalah Mengingat kompleknya permasalahan maupun kepentingan antara pesantren dan politik yang terjadii akhir akhir ini,terlebih adanya dinamika persepsi dan pen dekatan yang beragam antara antar pesantren itu sendiri terhadap negara/politik,maka untuk memperjelasdan memberikan gambaran yang utuh,penulis hanya memfokuskan pada peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai di kota tasikmalaya dan membatasinya pada teori sistem menurut david eston. 1.4 Tujuan penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan diatas penyusunan penelitian ini bertujuan untuk bisa menjawab persoalan mengenai bagaimana peran pembisik eit pesantren dalam formulasi perda nomer 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya sekaligus dapat menyelesaikan tugas penelitian mata kuliah pesantren dan politik 1.5 Manfat penelitian Dengan disusunya tulisan mengenai penelitian ini,penulis berharap apa yang disajikan oleh penulis lewat penelitian ini bisa bermanfaat baik dari dimensi teoritis maupun praktis. (a) Manfaat teoritis Dari dimensi teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai hubungan pesantren dan politik yang kerap kali terlihat harmonis dengan romantisme elit elit pesantren yang bersinggungan dengan politik praktis,pollitik struktural maupunn politik cultural.dan lebih jauhnya bisa dijadikan reverensi atau pembanding antara teori diakademi dan realita empiris yang terjadi sebenarnya di tataran kehidupan bermasyarakat. (b) Manfaat praktis Adapun dari dimensi praktis diharapkan penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi praktisi politik maupun elit elit pesantren dalam menjalankan perananya sebagai aktor di masing masing peran yang dijalankanya sehingga bisa berjalan sesuai dengan koridor dan etika yang seharusnya dilakukan sebagai aktor. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Peran Menurut Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 55), teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan” (h. 143). Lebih lanjut, Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 56) mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception (Kahn, et al., 1964; Oswald, Mossholder, & Harris, 1997 dalam Bauer, 2003: 58) Scott et al. (1981) dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu: 1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya, bukan individunya. 2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu. 3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity) 4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa perubahan perilaku utama. 5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran. 2.2 Definisi Pembisik Artikata pembisik dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai orang yang membisikan sesuatu kepada orang lain dan orang yang berugas membisikan apa yang harus dikatakan oleh pemailain dalam sandiwara. Dari definisi diatas dapt disimpulkan bahwa pembisik adalah orang orang mampu mempengaruhi pemikiran dan pendapat seseorang baik itu tokoh fublik,pejabat,maupun lainya secara diam diam yang cenderung sangat dekat secara personal dengan orang tersebut dan biasanya seorang pembisik itu mampu menguasai informasi 2.3 Teori elit menurut mills ( ) ellit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranata pranata utama dalam masyarakat.dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. 2.4 Model Formulasi Kebijakan Dan Teori Sisitem Menurut Thomas R. Dye ( 1995 ) ada 9 model dalam merumusakan kebijakan publik. 1. Model Kelembagaan Formulasi kebijakan dengan model ini bermakna bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas pemerintah (lembaga legislatif ). Jadi apapun yang dibuat pemerintah adalah kebijakan publik.Dye membenarkan model ini karena 3 alasan : 1) pemerintah memang lembaga yang sah dalam membuat kebijakan 2)fungsi pemerintah universal 3) pemerintah punya hak monopoli fungsi pemaksaan. Kelemahan pendekatan ini adalah terabaikannya masalah lingkungan tempat diterapkannya kebijakan karena pembuatan kebijkan tidak berinteraksi dengan lingkungan. 2. Model Proses Politik adalah sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. proses yang diakui dalam Model proses ini adalah sebagai berikut : a. Identifikasi Permasalah b. Menata Agenda Formulasi Kebijakan c. Perumusan Proposal Kebijakan d. Legitimasi Kebijakan e. Implementasi Kebijakan f. Evaluasi kebijakan Matrik dari Charles O Jones dapat anda temukan DISINI 3. Model Kelompok Model kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan ( equilibrium ). Disini beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentk kebijakan secara interaktif ( Wibawa, 1994,9) 4. Model Elit Berkembang dari teori elit masa dimana masayakat sesungguhnya hanya ada dua kelompok yaitu kelompok pemegang kekuasaan (elit ) dan yang tidak memegang kekuasaan. kesimpulannya kebijakan yg muncul adalah bias dari kepentingan kelompok elit dimana mereka ingin mempertahankan status quo. Model ini tidak menjadikan masyarakat sebagai partisipan pembuatan kebijakan. 5. Model teori Rasional Pengambilan kebijakan berdasarkan perhitungan rasional. Kebijakan yang diambil adalah hasil pemilihan suatu kebijakan yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Disini terdapat cost-benefit analysis atau analisa biaya dan manfaat. Rangkaian formulasi kebijakan pada model ini : a. Mengetahui preferansi publik dan kecenderungannya b. Menemukan pilihan pilihan c. Menilai konsekuensi masing masing pilihan d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien 6. Model Inkremental Model ini adalah kritik dari model rasional, karena tidak pembuat kebijakan tidak cukup waktu, intelektual dan biaya. Dengan model pemerintah menurut dengan kebijakan dimasa lalu yang dimodifikasi. Kesimpulannya Kebijaka inkremental adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahannkan kinerja yagn telah dicapai. 7. Model Teori Permainan Gagasan pokok dari kebijakan dalam model teori permainan adalah : a. Formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif b. Para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependen Kunci memenang kebijaka dalam model ini adalah tergantung kebijakan mana yang tahan dari serangan lawan bukan yang paling optimum. So defensif 8. Model Pilihan Publik Model ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. ( Publik Choise) Secara umum model ini adalah yang paling demokratis karena memberikan ruang yang luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Namun terkadang kebijakan yang diambil adalah kepentingan dari pendukung suatu partai maka dari itu pemuasan yang diberikanpun hanya sepihak yaitu pada pemilih. 9. Model Sistem David Easton model sistem secara sederhana dapat dilihat seperti input-proses-output. Kelemahan Model sistem adalah keterfokusan hanya pada apa yng dilkakukan pemerintah namun lupa tentang hal yang tidak dilakukan pemerintah. Sementara itu menurut David Easton (1984:395) teori sistem adalah: suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah). Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut: 1. Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi. 2. Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat). 3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output) 2.5 Definisi Peraturan Daerah(Perda) pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut : Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. BAB III METODE PENELITIAN 2.6 Pendekatan Atau Jenis Penelitian Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik penelitian ekploratif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan terlebih dahulu atau mengembangkan hipotesis untuk penelitian lanjutan,penelitian eksploratif perlu mencari hubungan gejala gejala sosial ataupun fisik untuk mengetahui bentuk hubungan tersebut. 2.7 Lokasi penelitian Tempat atau lokasi penelitian mengenai peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 ini akan dilaksanaka di kota tasikmalaya dengan fokus dan lokus penelitian terhadap MUI dan elit pesantren yang memiliki peranan yang kuat(barganing position dan power) terhadap pemerintah 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua data yaitu: a) Data primer yaitu data yang diusahakan atau didapatkan langsung oleh peneliti Data ini di dapat melalui metode wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpulan data terhadap narasumber. Narasumber dalam penelitian ini adalah MUI,elit pesantren yaang memiliki kedekatan dengan pemerintahan dan anggota komisi DPR yang bersangkutan dengan formulasi kebijakan ini. selain itu juga dilakukan melalui observasi yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi(situasi,kondisi b) Data sekunder yaitu data yang didapat dari orang atau instansi lain baik dari dokumentasi maupun data penunjang lainya . 3.4 Analisis Data Metode dalam analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan model analisa interaktif yang digunakan selama proses penelitian. Menurut Miles dan Huberman (Usman dan akbar Setiady, 2011 : 85-88) dalam teknik ini ada tiga komponen pokok analisa, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi. 1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transpormasi data “Kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengtode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan lain sebagainya dengan maksudmenyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengategorisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi. 2. Penyajian Data Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersususn yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualiatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semua dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA https://jodenmot.wordpress.com/2012/12/29/teori-peran-pengertian-definisi/ diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.00 wib http://taufiknurohman25.blogspot.co.id/2011/04/teori-sistem-david-easton.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.30 wib http://k uliahadministrasinegara.blogspot.co.id/2013/12/model-perumusan-kebijakan-publik.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.50 wib

Kamis, 17 September 2015

pesantren dan politik

PESANTREN DAN POLITIK (Pengaruh Pesantren Terhadap Perilaku Politik Santri Dan Konstelasi Politik Local ) MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pilkada Dan Konstelasi Politik Local Oleh Yosef Nursymsi 123507022 FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOCIAL UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis bisa menyusun makalah ini sesuai dengan yang diharapkan dan tepat pada waktunya. Penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada dosen pengampu mata kuliah pilkada dan konstelasi politik local yang telah banyak memberikan sumbangsih refernsi dan keilmuan di bidangnya. Adalah harapan penulis sekiranya penyusunan makalah ini bisa memiliki manfaat yang sebaik baiknya bagi pembaca khususnya bagi penulis sendiri perihal khasanah wawasan politik local yang baru. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi pemahaman akan teoritis maupun dari structural penulisan ilmiah yang semestinya,dengan lapang dada dan kebesaran hati penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan didalam penulisan makalah selanjutnya Akhir kata penulis ucapkan selamat membaca semoga bermanfaat Tasikmalaya 30 juni 2015 Penulis   DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 1 DAPTAR ISI 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 3 B. Rumusan Masalah 4 C. Tujuan Makalah 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Kiyai 5 B. Pandangan Islam Terhadap Politik 5 C. Bentuk Budaya Politik 5 BAB III PEMBAHASAN A. Pengaruh pesantren”kiyai” terhadap perilaku politik santri dan masyarakat 7 B. Relasi pesantren dan konstelsi politik local 9 BAB IV A. KESIMPULAN 12 B. SARAN 13 DATAR PUSTAKA   BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang paling tua dalam mengembangkan ajaran agama islam di nusantara dan memliki nilai historis terhadap gerakan social keagamaan.pada awalnya pesantren lahir dan berkembang karena danya tuntutan dari masyarakat muslim nusntara untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran,khususnya yang bersifat religius,oleh karena itu keberadaan pesantren selalu diterima dan diakui keberadaan dn eksistensinya oleh masyarakat sekitar dalam hubungan yang harmonis. Pesanren juga dipandang sebagai medium budaya kehidupan masyarakat,artinya didalam aktivitas pesantren tidak hanya sebatas mengajarkan tentang pendidikan agama akan tetapi lebih jauhnya pesantren juga memiliki fungsi untuk menanamkan nilai nilai spiritual,moral dan social kemasyarakatan sebagai bekal paa santri dalam menghadapi kehidupan bermasyarakt supaya dapat menjalankan peran sosialnya sebagai insane yang berahlak. Peran pesantren mengalami beberapa fase sejalan dengan perkembangan social culture Negara ini.pada fase pertama pra kolonialisme pesantren berperan khusus dalam mengajarkan dan menyebarkan ajaran islam ke seluruh pelosok nusantara.fase kedua masa kolonialisme,pada masa ini pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan tetapi juga menjadi basis kekuatan dalam menggalang perlawanan(power resisten)terhadap segala bentuk kolonialisme di berbagai daerah,terlebih adanya usaha misonaris yang menunggangi kolonialisme untuk menyebarkan agama Kristen(gosfel) khususnya di wilayah Indonesia timur. Fase ketiga yaitu pasca kemerdekaan NKRI,pergeseran peran pesantren pada masa ini terjadi akibat adanya dukungan dan keperayaan masyarakat terhadap eksistensi kiyai dan pesantren terutama masyarakat yang melihat sumber kekuatan dan otoritas dari pandangan kharismatik.sehingga pesantren dan kiyai di dipandang sebagai basis kekuatan politik yang mampu mengarahkan perilaku politik para santri dan masyarakat sekitarnya. Pergeseran pesantren dan kiyai sebagai basis kekuatan politik kerap kali dijadikan ajang perebutan simpati dan restu bagi para kontestan perhelatan politik,baik pada saat PILEG PILKADA maupun PILPRES.melihat dinamika peran dan fungsi pesantren yang terus berkembang terutama sebagai basis kekuatan politik local yang mampu mengarahkan prilaku politik santri dan masyarakat ini sangat menarik untuk di kaji dalam makalah yang berjudul”pesantren dan politik(peran pesantren terhadap prilaku politik santri dan konstelasi politik local). B. Rumusan masalah Mengingat begitu kompleknya peran pesantren dalam mentranspormasi nilai nilai kehidupan dan beragama,maka penulis membatasi permasalahan pesantren ini dalam spectrum politik yang dirumuskan sebagai berikut: a) Bagaimana peran pesantren “kiyai”terhadap perilaku politik santri b) Bagaimana relasi pesantren dan politik locall C. Tujuan makalah Selaras dengan rumusan masalah diatas,maka penyusunan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut: a) Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah pilkada dan konstelasi politik lokal b) Untuk mengetahui tentang peran pesantren”kiyai:terhadap perilaku politik santri. c) Untuk mengetahui tentang relasi pesantren dan politik local. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. peran kiyai hiroko korikosi(1987)bahwa”kiyai adalah perantara (intermetary force) sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat B. Pandangan islam terhadap politik Menurut Bj.bollen (1982)”ketertarikan umat islam terhadap politik bukan saja karena kemampuan partai politik dalam memperjuangkan dan membela kepentingan islam,tetapi karena adanya tipologi islam dalam memandang hubungan politik dengan islam” C. Bentuk budaya politik a) budaya politik parokial ( parochial political culture )tipe budaya politik yang orientasi politik individu dan masyarakatnya masih sangat rendah. hanya terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit. individu tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. tidak ada peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri. biasanya terdapat pada masyarakat tradisional b) budaya politik subjek ( subject political culture ) masyarakat dan individunya telah mempunyai perhatian dan minat terhadap sistem politik. meski peran politik yang dilakukannya masih terbatas pada pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah dan menerima kebijakan tersebut dengan pasrah. tidak ada keinginan untuk menilai , menelaah atau bahkan mengkritisi c) budaya politik partisipan ( participant political culture merupakan tipe budaya yang ideal. individu dan masyarakatnya telah mempunyai perhatian, kesadaran dan minat yang tinggi terhadap politik pemerintah. individu dan masyarakatnya mampu memainkan peran politik baik dalam proses input (berupa pemberian dukungan atau tuntutan terhadap sistem politik) maupun dalam proses output (melaksanakan, menilai dan mengkritik terhadap kebijakan dan keputusan politik pemerintah). BAB III PEMBAHASAN A. Pengaruh pesantren”kiyai” terhadap perilaku politik santri dan masyarakat Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama informal temtunya memiliki karakteristik tersendiri yang unik satu sama lainya,setidaknya kondisi sosio culture masyarakat sekitar bias saja mempengaruhi cara pengajaran dan program-program pengajaran di civitas pesantren,atau bahkan sebaliknya peran dan figure pesantre”kiyai”dapan merekonstruksi tata nilai social culture santri dan masyarakat sekitar,terlebih di wilayah yang masih kental unsure unsure kebudayaan dan metafisika,sosok kiyai dipandang sebagai figure ideal yang layak dijadikan panutan dan di minta petuahnya. Sikap dan perilaku santri maupun masyarakat terhadap kiyai ini seakan tidak bisa dilepaskan satu sama lainya,keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme layanya dua sisi mata uang.di satu sisi kiyai membutuhkan seorang santri dan masyarakat sebagai objek pengajaran dan pengamalan ilmunya sebagai penrus perjuangan syiar agama,disisi lain santri dan masyarakat juga membutuhkan kiyai sebagai pembingbing dan pengampu berbagai ilmu keagamaam dan social culture masyarakat yang keberadaanya harus dijunjung tinggi. Kehadiran sosok kiyai yang menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan,dengan sendirinya menimbulkan kewibawaan kharismatik bagi para santri dan masyarakat sekitar.Dengan adanya otoritas kharismatik memudahkan bagi kiyai untuk mengontrol dan mengukuhkan pengaruhnya terhadap santri dan masyarakat sekitar sebagaimana yang dijelaskan oleh max weber( ) bahwa”charisma memainkan peran penting dalam kehidupan social masyarakat,juga menjadi penentu dalam orientasi politik” Otoritas kiyai dari segi power of kharismatic kerap kali menimbulkan sikap ta’jim (patuh turut)santri terhadap titah yang diucapkan oleh kiyai,bahkan disatu sisi otoritas kharismatik sering bergeser mendekati otoritas tradisionaldimana sosok kiyai siyakini sebagai sosok yang bersih,mulya dan luput dari kekeliruaan(trustee),hal ini dipertegas dengan berbagai kajian lliteratur para santri dalam menuntut ilmu yang memungkinkan terjaganya kewibawaan kiyai seperti kitab kuning. Menurut masthur(1994)”ta’lim mutualim karangan syekh zanuazi yang menjadi pedoman para santri dalam menuntut ilm,diantara isinya adalah bahwa kunci sukses menuntut ilmu adalah murid wajib menghormati guru dan kitab yang di ajarkanya” Sikap hormat santri dan masyarakat terhadap kiyai ini diartukulasikan dan di internalisasi sebagai penerimaan setiap sikap dan keputusan yang di ambil oleh kiyai.sehingga sikap dan pilihan santri akan terus berafiliasi terhadap kiyai,oleh karena itu lambat laun akan melahirkan budaya aatau perlakuan politik yang bersifat parochial yaitu “sikap dan perilaku poltitk masyarakat yamg memiliki orientasi masih lemah terhadap empat tingkatan bentuk berikut: a) Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki masyarakat mengenai system politik Negara b) Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat kebijakan c) Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi input dari masyarakat d) Partisipasi dalam kegiatan politik dan bernegara,hakdan kewajiban sebagai warga negara. Maka setiap keputusan yang bersangkutan dengan adpek politik baik yang bersifat ekonomi social dak keagamaan sepenuhnya diserahkan langsung kepada ketua adat,tokoh masyarakat”oleh karena itu kiyai dipandang bukan hanya memiliki pengaruh dan peran dalam tatanan keagamaan lebih jauhnya kiyai juga dipandang sebagai figure penentu dalam peranata kehidupan bermsayarakat. B. Relasi pesantren dan konstelsi politik local Pesantren secara khitah merupakan lembaga dakwah seakligus pendidikan bagi santri dan masyarakat yang menitik beratkan pada dimensi teologi dans,fatalistic,dan keihlasan terkait dengan dimensi osolerik yang bersifat metafisika.Sedangkan politik merupakan dimensi profane yang bersifat sekuler dan selalu bebrbicara perihal kekuasaan. Kedua spectrum tersebut pada dasarnya sangat bertolak belakang namun pada kenyataanya sulit sekali untuk dipisahkan.hal ini bias dilihat dari peran pesantren dalam dekada terakhir. Dimana pada masa orde baru pesantren lebih memegang peranan hanya sebatas budaya atau yang lebih dikenal sebagai culture broker,mengingat pada masa orde baru polititk di kalangan pesantren sulit sekali di terima oleh masyarakat,bahkan bantuan dari pemerintah maupun parati politik kepada pesantren dianggap sebagaipencedraan terhadap citra kiyai.implikasinya pesantren jadi sepi dari para santri yang akan menuntut ilmu keagamaan pada kondisi terburuknya,kiyai akan kehilangan legitimasi dan charisma atas santri dan masyarakat. Pasca reformasi pesantren mulai memasuki ranah structural(politik praktis) dengan beberapa kiyai yang masuk kedalam struktur kepengurusan parati politik,menjadi anggota legislative,kepala daerah bahkan pesantren jawa berdomisili di jawa yang berafiliasi terhadap NU menginternalisasikan dirinya pada generalisasi idiologi dan partai politik PKB untuk mensukseskan KH.Abdurahman wahid sebagai presiden. Menurut Bj.bollen (1982)”ketertarikan umat islam terhadap politik bukan saja karena kemampuan partai politik dalam memperjuangkan dan membela kepentingan islam,tetapi karena adanya tipologi islam dalam memandang hubungan politik dengan islam” Tipologi islam dalam memandang hubungan politik dengan islam bsa di kategorikan sebagai berikut: a) Idiologi dimana politik dipandang sebagai hal yang penting dan sikap politik seseorang sama halnya dengan seperti memeluk islam sebagai keharusan b) Kharismatik yaitu cara pandang seseorang dalam sikap politiknya didasari terhadap kefiguran ,artinya sikap politik sesorang sangat dipengaruhi oleh tokoh atau pemuka agama yang memiliki pengaruh dan charisma dan seseorang hanya mengikuti apa yang di putuskan tokoh kharismatik tersebut. c) Rasional yaitu cara pandang seseorang terhadap politik dengan jalan mempertimbangkan dari aspek kapabelitas dan kapasitas politisi tersebut. Peran pesantren dalam konstelasi politik local khususnya di tasikmalaya secara tidak langsung memiliki andil yang besar terhadap prilaku politik santri dan masyarakat khususnya pada perhelatan pemilu,bahkan banyak diantara elit pesantrenn yang ikut serta dalam politik praktis ini,seperti KH Asep Maosul affandi yang merupakan keturunan dari pendiri pondok pesantren Miftahul Huda,maupun kemenangan UU rhuzanul ulum yang mendapat dukungan dari pesantren mifatahul huda dan HAMIDA(himpunan alumni miftahul huda) yang terdapat di berbagai pelosok nusantara terutama di tasikmalaya. Masyarakat tasikmalaya khususnya masyarakat yang berada di pedesaan yang berlatar belakan ekonomi dan pendidikan menengah ke bawah masih cenderung berprilaku politik tradisional dengan lebih mempertimbangkan aspek kharismatik dari yang mengarahkan maupun dari sosok pemimpin yang akan di pilih ketimbang melihat aspek pengetahuan visi misi dan kapabelitas.disinilah peran kiyai sebagai tokoh yang kharismatik berpengaruh penting terhadap perilaku politik masyarakat. Pengaruh kiyai seolah olah telah bertransformasi menjadi barganning power dan position bagi elit politik local maupun nasional dalam vote gatter.para elit politik local maupun nasional kerap kali bersilaturrahmi ke pesantren dan kiyai dengan tujuan untuk mendapatkan restu sebagai symbol dukungan kiyai terhadap elit politik tersebut. Dalam posisi ini kiyai dapat melakukan lobi politik dan deal deal politik sebagai timbal balik dari dukunganya untuk kepentingan umat seperti yang diungkapkan hiroko korikosi(1987)bahwa”kiyai adalah perantara (intermetary force) sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat” Deal deal politik kiyai terhadap elit politik local bias dilihat dari di terbitkanya perda sayariah di kota tasikmalaya pada masa syarief hidayat dimana perda tersebut diyakini sebagai umpan balik dari proses system politik yang di prakarsai atas kepentingan golongan kiyai yang ingin membumikan perda syariah di kota tasikmalaya.walaupun pada kenyataanya perda ini hanya bersifat semantic karena pada implementasinya dirasakan sangat nihil. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam memiliki peranan yang terus berkembang siring perjalanan social culture negeri ini,pesantren tidak lagi bercokol pada satu tatanan religiusitas yang bersipat metafisika tetapi juga berperan penting dalam merekonstruksi nilai nilai kehidupan bemasyarakat dan bernegara. Sebagai basis kekuatan yang memiliki kharismatik dikalangan santri dan masyarakat local keberadaan pesantren tidak lagi parsial terutama menjelang perhelatan pemilihan umum banyak elit politik local yang memanfaatkan dukungan politik berupa restu dari pesantren untuk meraih simpati masyarakat. Ditataran politik local pesntren bahkan memiliki barganning power dan position yang sangat menarik sehingga memungkinkan trjadinya kontrak politik diantara elit pesantren dan elit partai politik local. Pesantren bisa ditempatkan sebagai pembisik kebijakan pemerintahan local sekaligus sebagai” local strongman” yang berjalan demi kepentingan umat. B. Saran Dari kompleksitasnya permasalahan pesantren terhadap konstelasi politik local diharapkan dengan adanya penyusunan makalah ini bisa dijadikan sebuah rujukan untuk diskusi terbuka demi terciptanya peran pesantren dan kiyai yang seharusnya dalam menempatkan dirinya dalam pusaran politik yang selalu bersinggungan dengan kursi kekuasaan Daftar pusataka

Senin, 29 Juni 2015

Diskriminasi Negara Dan Mayoritas Terhadap Minoritas Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Diskriminasi Negara Dan Mayoritas Terhadap Minoritas
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Oleh:Yosef Nursyamsi
123507022

Indonesia merupakan Negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia,sebagai Negara demokrasi Indonesia mulai diakui oleh dunia luas khususnya oleh Negara Negara barat setelah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama pada tahun 1955,bahkan pemilihan umum pada saat itu di pandang oleh dunia barat sebagai penyelenggaraan pemilihan umum yang paling demokratis,dimana warga Negara berperan aktip dalam berfartisipasi politik,dan diberikan jaminan oleh Negara untuk mengeluarkan pendapat,berkumpul dan berserikat bahkan warga Negara diberikan kebebasan untuk mendirikan berbagai elemen organisasi dan partai politik sesuai dengan idiologi yang diyakini oleh setiap warga Negara.pemilihan umum yang pertama ini tercatat diikuti oleh 172 kontestan partai politik dengan empat partai besar pemenang pemilihan umum.
Pencapaian demokrasi procedural ini ternyata tidak dibarengi dengan pencapaian demokrasi substansional,Negara Indonesia dianggap telah gagal dalam mengimplementasikan substansi dari proses demokratisasi itu sendiri,hal ini terlihat dari peran dan kebijakan orde lama sampai orde baru dalam menerapkan kebijakan perihal supremasi hokum,keadilan dan penegakan hak asasi manusia.padahal dua komponen tersebut merupakan hal paling penting dan mendasar yang harus dijunjung tinggi oleh Negara demokrasi.
Supremasi hokum dianggap” tumpul keatas dan tajam kebawah”, bagi para tokoh dan elit pemerintahan seakan memiliki hak imunitas terhadap berbagai pelanggaran dan sangsi hokum.hukum justru dijadikan instrument legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan dan kedudukanya,sementara masyarakat kecil harus berjuang tanpa hasil mencari keadilan atas hokum.pemerintahan yang represif dan cenderung “dictator”terus merestrick ruang fublik bahkan menganggap subversive terhadap masyarakat yang tidak sejalan dan searah dengan kebijakan pemerintah.
Permasalan  HAM juga dipandang sebagai isu global yang sangat menyita perhatian dunia.terutama di masa rezim orde lama dan orde baru berkuasa,konfrontasi dan pelenyapan nyawa warga Negara yang dianggap subversive terhadap eksistensi pemerintahan dan NKRI kerap terjadi diberbagai wilayah Indonesia.
Pasca reformasi permasalahan HAM mulai mengalami pergeseran pandangan dari yang bersifat represif dan kekerasan oleh Negara terhadap ex anggota,keluarga,dan relasi organisasi yang dianggap subversive bergesar menjadi penegakan HAM yang bersifat diskriminatif terhadap masyarakat minoritas baik yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas maupun oleh Negara melalui serangkaian kebijakan yang merestrick bahkan menderogable masyarakat minoritas.
Hak asasi manusia pada dasarnya merupakan hak hak yang harus dimiliki dan diterima oleh setiap individu sesuai dengan kodrat yang sesungguhnya tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi sebagai mahluk ciptaan tuhan yang maha esa.
Di Indonesia sendiri pengertian HAM telah diatur dalam uu no 39 tahun 1999 pada pasal satu yang menjelaskan sebagai” Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. artinya setiap warga Negara dijamin keberadaanya dan kebebasanya oleh konstitusi Negara dalam menjalankan setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara setiap orang dan Negara di tuntut memiliki toleransi dan kesadaran hokum terhadap individu lainya untuk menjalankan aktifitasnya tanpa adanya restrick(batasan) bahkan bersifat non derogable (tidak bias dibatasi dalam keadaan apapun) kecuali oleh undang undang apabila bersipat negatip dan mengancam stabilitas Negara.
Pada kenyataanya UU no 39 tahun 1999 ini hanya bersifat semantic daripada normative,mengingat masih banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas dan Negara terhadap masyarakat yang minoritas melaui berbagai kebijakan yang dibuat.
a)      Diskriminatif Masyarakat Mayoritas Terhadap Keberadaan Masyarakat Minoritas
Diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”(uu no 39/1999).
Proses diskriminasi itu sendiri lahir ketika masyarakat melihat suatu perbedaan antara dirinya atau kelompok yang satu dengan kelompok lainya,sehingga akan melahirkan perasangka dan stigma negatip tentang keberadaan kelompok lainya dimana kelompok yang mayoritas selalu menganggap dirinya sebagai kelompok yang superior dan melegitimasi setiap tindakanya sebagai suatu kebenaran yang harus diterima oleh masyarakat minoritas yang apriori.
Prasangka histories dan perasaan superioritas mayoritas terhadap minoritas sangat sulit di hilangkan terutama dalam permasalahan SARA,salah satu contohnya adalah:
a.       Penolakan pembangunan gereja di kota bekasi.
Sikap masyarakat muslim sebagai mayoritas di kota bekasi dalam menolak pembangunan tempat ibadah gereja HKBP PT menjadi suatu bukti bagi lemahnya sikap toleransi antar umat beragama serta kurangya penegakan HAM
Adanya  pembangunan gereja ini di pandang oleh masyarakat muslim sebagai suatu perasangka histories terhadap minoritas Kristen sebagai misionaris yang bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen,selain itu umat muslim sebagai mayoritas menganggap dirinya superior diatas masyarakat Kristen minoritas yang harus tetap didominasi,terjadinya dominasi mayoritas ini bertujuan untuk mengukuhkan pengaruh dan kepentingan mayoritas sekaligus mempertahankan setatus atau posisi yang ada sekarang( status quo) dan menahan proses perubahan social yang dimungkinkan akan mengacaukan status trsebut.
Minoritas Kristen tidak hanya terdiskriminasikan dalam permasalahan beragam,namun juga teralienasi dari kehidupan bermasyarakat lebih jauhnya sikap in-group felling yang berlebihan dalam masyarakat mayoritas kerap kali menstigmakan “sesat” terhadap agama dan keyakinan yang lainya dan lambat laun terfragmentasi menjadi kebencian dan penistaan terhadap agama minoritas. Permasalahan mayoritas juga terjadi di daerah Indonesia bagian timur dimana mayoritas Kristen mendiskriminasikan minoritas muslim.kondisi seperti ini menjadi konflik laten antar umat beragama yang apabila terdapat trigger sekecil apapun akan menjadi isu dan konflik besar berkelanjutan.
b.      Kasus lainya seperti pelarangan terhadap jalanya penyelenggaraan ibadat ahmadiyyah dan syiah
b)     .Diskriminasi Negara Terhadap Masyarakat Minoritas
Sebagai supra struktur Negara pemerintahan Indonesia seharusnya memiliki power control terhadap penegakan HAM yang mendeskriditkan masyarakat minoritas,akan tetapi pada kenyataanya pemerintahan justru kerap kali mengeluarkan kebijakan yang dianggap mendeskriminasikan masayarakat minoritas tersebut dan memiliki kepentingan bagi masyarakt mayoritas diantara kebijakan tersebut adalah tidak adanya afirmasi bagi suku pribumi di pedalaman yang secara turun temurun masih memegang teguh kepercayaan nenek moyang,padahal mereka sebagai warga Negara yang juga berhak atas kebebasan beragama dan telah hadir di wilayah nusantara sebelum Negara ini terbentuk.
Masyarakat minoritas pedalaman terkonfirmasi dalam catatan sipil seperti kepemilikan dikarenakan agama atau keyakinan yang mereka anut tidak termasuk kedalam agama yang diakui oleh Negara,implikasinya mereka kehilangan hak politik dan sipilnya sebagai warga Negara bahkan untuk urusan pernikahan harus melalui serangkaian regulasi yang rumit dan panjang,seperti harus mealalui dinas budaya pariwisata  sebelum di catat di dinas pencatatan sipil karena KUA dan pengadilan pencatatan sipil belum mengakui keyakinan mereka.
Permasalan agama ini semakin terkonfirmasi dalam uu no 1/pnps/1965 tentang penistaan agama atau penodaan agama yang menuai polemic dan telah di judicial review ke mahkama konstitusi mengenai pasal satu yang menjelaskan  “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatannya”.
Undang undang ini secara otomatis mengdiskriminasikan keyakinan dan agama selain agama yang di akui oleh Negara seperti:islam,Kristen,budha,hindu,konghucu,ditambah lima keyakinan yahudi,Shinto dan taosim.dilihat dari penegakan HAM undang undang mengenai penistaan agama jelas telah melanggar konvensi internasional mengenai HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia karena telah meresrtick kebebasan individu dalam beragama yang pada hakekatnya menjadi hak bagi manusia yang bersifat non derogable.akan tetapi disisi lain undang undang ini di perlukan oleh Negara ini untuk diperuntukan sebagai instrument terhadap konflik horizontal antar umat beragama yang apabila undang undang ini di cabut maka akan terjadi multi tafsir apabila negar mengintervensi atau mengontrol konflik yang berlatar belakang agama sehingga tidak ada lagi landasan hokum bagi Negara untuk memediasi konflik tersebut.



Minggu, 25 Januari 2015

LOCALSTONGMAN DAN BOSISME



LOCALSTONGMAN DAN BOSISME
Oleh:Yosef Nursyamsi

Tasikmalaya merupakan wilayah di priangan timur yang  mengalami perkembangan secara pesat.perkembangan ini tidak hanya terbatas pada sector ekonomi dimana pusat pusat perbelanjaan tumbuh  dan berkembang di daerah tasik jauh dari  itu perkembangan politik juga tengah  mengalami perkembanganya.
Perkembangan yang pesat ini tidak bisa dilepaskan dari hadirnya peran penting local strongman sebagai manifiestasi dari kekuatan masyarakat dan peran bosisime yang merupakan menifiestasi dari kekuatan negara.
Untuk mengetahui peran penting dari setiap kekuatan local strongman ini perlu di lakukan perihal identifikasi local strongman di tasikmalaya.local strongman sendiri merupakan orang kuat lokal setempat yang lahir karena kemampuanya dalam penguasaan resource,seperti kekayaan,kepemilikan tanah,yang pada akhirnya akan menimbulkan legitimasi pada kefiguranya yang dimistiskan melalui pemberian dan jaminan akan sandang,pangan papan,sehingga akan terjalin hubungan sosial dan perlindungan terhadap sekelompok orang atau golongan yang bersifat jejaring dan pada akhirnya akan mampu di kontrol melalui kontrol yang “terpecah-pecah”
Sedangkan bosisme merupakan orang kuat lokal yang  lahir sebagai orang yang berpengaruh karena peranya sebagai birokrat,bos partai,militer dan preman.bosisme ini berbeda dengan lokal strongman dimana bosisime mendapatkan legitimasi karena figuritas dan kewibawaanya bahkan karena ancamanya.sumber-submber figuritasnya dilakukan dengan cara menguasai modal,tekanan dan kejahatan.
Biasanya localstrongman dan bosisme ini hanya dipisahkan oleh garis tipis yang sulit dibedakan bahkan keduannya bisa lahir bersamaan ataupun saling bertukar posisi.
Hal ini bisa dijelaskan ketika mayasari group.mampu menguasai wilayah tasikmalaya dengan berbagai sumber-sumber ekonomi,pasar tradisional dan modern,dengan hubungan sosialnya yang luas dan kekuatan ekonominya yang kuat maka dengan sendirinya akan menjadi legitimasi dan kekuatan dalam mengatur kontrol terhadap masyarakat.
Untuk memperluas dan memberikan keamanan akan sumber ekonomi yang dimilikinya maka secara otomatis sumber politik pun harus dimiliki sebagai upaya untuk menjamin alokasi ekonomikal resource dan politikal resource,sehingga setiap kebijakan yang di ambil akan sesuai kehendak dan merupakan legitimasi formal.
Contoh dari semua ini adalah pengalihan one way road menjadi double way road(2 arah) disekitar kawasan mayasari plaza.sehingga arus kendaraan menjadi lebih ramai dan mayasari plaza secara tidak langsung akan meningkatkan daya tarik masyarakat tasikamalaya ketika lewat ke kawasan mayasari plaza.
Contoh lainya adalah bagaimana peran pengusaha auotobus yang merekap sebagai wakil walli kota tasikmalaya yang selain bosisme juga terlebih dulu sebagai localstrogman mampu mengguasai trayek tasik kota antar provinsi,kota dalam provinsi yang lebih hebatnya para penumpang ini tidak usah mengantri di terminal “resmi”tipe A kota tasikmalaya tetapi memuat penumpang di” terminal pribadi” atau poll dan terminal tipe A kota tasikmalaya hanya dijadikan transit atau sekedar membayar retribusi.
Praktek bosisme dan localstrongman tidak hanya terjadi di kalangan elit atas saja,akan tetapi juga terjadi di elit elit desa seperti yang terjadi di daerah cibeureum.kasus pertama terjadi pada local strongaman dimana seorang pengusaha konveksi untuk memperlancar usahanya harus  menjalin kerjasama dengan berbagai kalangan di masyarakat terutama tokoh tokoh yang berpengaruh guna melindungi keamanan sebagai timbal baliknya pengusaha tersebut harus lebih peka terhadap keinginan tokoh tersebut misalnya ketika mengadakan suatu acara maka pengusaha harus siap membiayai acara tersebut.jalinan kemitraan ini juga di jalin dengan birokrat sebagai upaya untuk mempermudah ijin usaha dan dalam hal kredit.
Kasus kedua terjadi pada bosisme dimana seorang tokoh partai salah satu   DPC partai politik dari hasil observasi dan wawancara singkat dapat disimpulkan bahwa kekuatan untuk mengontrol masyarakat in tidak bisa di lepaskan dari berbagai jalinan kemitraan dengan pihak lainya.kemitraan ini terjalin antara ketua DPC  dengan tokoh pemuda yang mampu menjadi fasilitator dan di percaya di sebuah tempat,sehingga ketika ketua tersebut menghendaki dukungan dari masyarakat maka akan mudah memobilisinya.
Selain kemitraan dengan tokoh pemuda bosisme ini juga menjalin kerjasama dengan birokrat khususnya para kader yang duduk di dinas pemerintahan dan tentunya dengan para legislator dari partainya,hal ini akan mempermudah masalah regulasi dan pengajuan bantuan bagi kepentingan masyarakat ujarnya.
Menurutnya kerjasama dengan pihak keamanaan baik militer/polisi bahkan preman dipandang perlu untuk menjamin keamanandan memperlancar perihal berbagai acara di tataran lapangan.karena tidaklah mudah untuk mengatur masyarakat dari berbagai kalangan dengan latar belakang berbeda pula terlebih mereka yang bersikap arogansi.
Selanjutnya bagaimana menyikapi perihal bentuk sebuah negara yang ideal antara negara federasi dan negara kesatuan.kedua bentuk negara ini pada dasarnya memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan di setiap unsur pemerintahanya.banyak negara yang maju dengan bentuk negara federasi,dan banyak juga negara yang maju menggunakan bentuk negara kesatuan begitu juga sebaliknya.yang terpenting adalah bagaimana pemerintahan tersebut mengemban tugas dan fungsi negara dengan senyata-nyatanya.
Untuk melihat kelebihan dan kelemahan dari masing-masing betuk negara maka dapat disederhanakan sebagai berikut.
A.    negara kesatuan
Negara kesatuan sangat cocok di negara yang memiliki keseragaman dalam bentuk budaya dan latar belakang sejarah bentuk negara ini juga lebih bersipat satu komando atau sentrallistik sehingga sangat efektif diterapkandi negara yang wiayahnya bersatu dalam satu kesatuan bukan kepulauan.
Ibu kota atau pusat memiliki wewenang penuh kedalam dan keluar dan tidak terbagi bagi terhadap wilayah atau provinsi lainya.dengan model monosentris yang memiliki satu pemerintahan,satu kepala negara akan mempermudah koordinasi terhadap wilayah di bawahnya.
Kelemahan dari negara kesatuan ini adalah kurangnya otonomi yang dimiliki oleh wilayah dalam memandirikan pembangunan karena sifanya yang monosentris.dan tidak memiiki tindakan kedalam.
B.     negara federatif
bentuk negara ini sangat cocok bila diterapkan di negara yang memiliki wilayah luas apalagi merupakan negara kepulauan dimana latar belakang budaya,kondisi sosial politik yang begitu beragam sehingga setiap daerah atau negara bagian diberikan hak otonomi penuh untuk mengelola pemerintahanya sendiri sesuai kondisi politik dan sosial wilayah tersebut.selain itu negara bagian juga dapat melakukan pembangunan yang lebih mandiri cepat dan terstruktur karena memiliki regulasi yang sesuai dengan kebutuhan daerah itu sendiri tanpa campur tangan “pusat’
akan tetapi disisi lain negara federatif ini akan memberikan imbas langsung terhadap negara bagian yang tidak memiliki kemandirian,potensi sumber daya alam dan manusia yang tinggi sehingga akan terjadi kesenjangan pembangunan antar negara bagian.
Hal ini akan memicu terjadinya  eksoduse penduduk menuju wilayah atau negara bagian yang memiliki kapasitas ekonomi lebih tinggi.

PANCASILA DAN BERBAGAI DEFINISI

Review Buku Kaelani klik link dibawah ini  https://docs.google.com/document/d/142IaPq55EThm5V0yfzz-dE0drDFMDc2Lfn9UcIib330/edit?usp=sh...