Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 Juni 2017

konsep ekonomi politik

   Konsep Ekonomi Politik

Sebelum membahas konsep dan teori tentang ekonomi politik, terlebih dahulu harus di fahami tentang metode dan atau pendekatan dalam ekonomi politik. Pendekatan dalam ekonomi politik sendiri menurut Ikbar (2007: 2) bersifat fleksibel dan elektis, fleksibel artinya dapat memformulasikan dirinya ke dalam berbagai substansi dan konstektualitas keilmuan dalam kerangka interdisipliner. Sedangkan elektis diartikan bahwa ia dapat menjadi dirinya sendiri dan dapat pula dikatakan sebagai suatu perpaduan dari serangkaian sudut pandang, cara, dan alat analisis yang bersumber dari disiplin lain yang sudah menjadi bagian dari ekonomi politik karena sebab akibat, keterhubungan korelatif, dan linkages dalam proses interdisipliner filsafat dasarnya, yang kelak berhubungan dengan dunia idioligismenya dan dunia tindakan.
Pendekatan ekonomi menurut Y King (dalam Ikbar, 2007: 2) ialah sebagai alat analisis yang menitikberatkan kepada kekuasaan politik sebagai variabel dominan. Pengamatannya banyak tertuju pada segi-segi politik yang mengubah aspek-aspek ekonomi (Prisma, No. 3, 1989). Pandangan ini berbeda dengan mahzab sosialis di mana mereka secara agresif menempatkan pendekatan ekonomi politik berupa neo-political economy, yang alat analisisnya (salah satu makna pendekatan) mengaplikasikan asumsi-asumsi bahasa maupun logika ekonomi politik neo-klasic kedalam seluruh rentangan pembuatan keputusan publik maupun private. penganut faham ini umumnya menganggap politik bukan sebagai sebab, tetapi akibat proses produksi, dan lebih jauh lagi pusat perhatiannya diarahkan pada pertentangan kelas-kelas masyarakat.
Saat ini orang-orang penstudi ekonomi politik sudah mulai menemukan identitas terpenting dalam studi ini, yaitu adanya dua bidang tema hubungan yang saling mempengaruhi, melengkapi atau saling berkaitan dan bahkan dikaitkan antara suatu keadaan, kejadian, peristiwa, gejala ataupun fenomena kehidupan dalam dunia ‘economestrics’ dan dunia ‘politics’, baik hubungan yang bersifat kausal, korelasional, dan perkaitan atau linkages serta inter-linkages yang erat dengan model deterministik. Sebagaimana Staniland ( dalam Ikbar, 2007: 3) menyebutkan:
bagaimana politik menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana ekonomi menentukan proses-proses politik (Staniland: 5) atau pandangan yang mengambil model interaktif yang secara fungsional membedakan dunia ekonomi dan politik tetapi keduanya mempunyai pengaruh reciprocal”

kedua bidang ekonomi dan politik (Ikbar, 2007: 3-4) dimaksud, secara explanatory dan normative sesungguhnya saling komplementasi, tergantung kepada keperluan mana ia ditempatkan, ia berhubungan satu dengan lainnya dalam upaya menjelaskan bagaimana hubungan antara bidang ekonomi dan bidang politik berproses serta dapat berkaitan melalui pengaruh yang bersifat timbal balik, misalnya pada filsafat dasar kausalitas; mana yang sebab dan mana yang akibat. Sisi yang paling dominan akan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang berlaku, bisa saja proses politik lebih dominan dibandingkan aspek-aspek ekonomi, atau sebaliknya. Adakalanya orang berpikir lebih aman jika menempatkan hubungan determinasi ekonomi dan politik dalam perilaku korelasional karena menganggap hubungan yang terjadi di antara keduanya diidentifikasikan berdasarkan ketidaklangsungan variabel (akibat berbagai faktor X atau lainnya diluarnya), dan akhirnya ditarik suatu kesimpulan, atau bahkan hubungan yang tidak bersangkut paut sama sekali, namun dicobakaitkan satu sama lain untuk ditarik kesimpulan adanya hubungan faktor politik dan faktor ekonomi. Secara logika dapat dicontohkan hubungan tersebut sebagaimana pernyataan:
1)      Kemarau panjang tanah menjadi kering (kausalitas)
2)      Kemarau panjang menimbulkan kelaparan (korelasional)
3)      Kemarau panjang dan maraknya kejahatan (perkaitan/linkages)
Ekonomi politik menurut Ikbar (2007: 4-5) secara teoritikal tidak dapat dikaji secara sendiri-sendri dalam arti ada bidang ekonomi secara terpisah dan ada bidang politik secara terpisah juga. Pemisahan dunia ekonomi dan politik kini sudah mulai dipadukan melalui sejumlah konsep dan teori ekonomi politi yang dialektika, deterministik, dan interaktif dengan kecenderungan aktor-aktor ekonomi yang harus mencermati aspek-aspek politik. Demikian juga sebaliknya, politik harus memberi perhatian kepada berbagai aspek ekonomi secara timabal-balik. Gilpin (1987) memberi idea-idea dengan membuka sejumlah pertanyaan untuk mencari tahu konsep-konsep ekonomi politik:
“bagaimana negara dan proses politik yang terkait di dalamnya mempengaruhi produksi dan distribusi kekayaan, bagaimana keputusan-keputusan politik dan kepentingan-kepentingan yang ada mempengaruhi lokasi aktivitas ekonomi tersebut, dan dengan cara apa sebaliknya, serta bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi mempengaruhi penyebaran leluasaan dan kemakmuran diantara aktor-aktor politik dan di antara negara-negara. Akhirnya, bagaimana kekuatan-kekuatan ekonomi tersebut mengubah distribusi politik dan militer para peringkat internasional”.

Ekonomi politik menurut Ikbar (2007: 7-8) dapat diidentifikasikan dari beberapa pokok perhatian diantaranya adalah sebagai suatu kajian daripada berbagai peristiwa, fakta, fenomena, dan gejala yang ditimbulkan oleh efek kebijaksanaan (policy/strategi) pemerintah dalam berbagai aspek yang langsung berkaitan dengan proses hubungan dimensi antara negara, rakyat, dan lingkungan hidupnya. Sedangkan batasan-batasan dalam proses pembentukan teori ekonomi politik diantaranya adalah: pertama teori-teori parsimoni[1] dapat merupakan kekuatan yang eksplanatif, namun bersifat terbatas yang dapat digunakan sebagai titik awal suatu penelitian. Kedua  teori-teori siklus historis dan perubahan historis (termasuk pemahaman tentang tingkah laku manusia/behavoral) yang membatasi bidang generalisasi hukum empirik dan historis.
Lebih lanjutnya, Staniland dalam Ikbar (2007: 8) menyebutkan dengan sederhana tentang pembangunan subsequent yang dijelaskanya sebagai berikut:
1)      Ortodox liberalism, cenderung melakukan analisis dan normatif individu (khususnya sikap dan kepentingan) masyarakat sebagai suatu agregasi atau suatu hasil pencarian kepentingan individu, negara sebagai agen untuk mengikuti kepentingan individu.
2)      Kritik sosial dari liberalisme menyerang asumsi liberal yang secara individu ada dan melakukan isolasi, yang kemudian kembali bereaksi melaui penegasan bahwa “masyarakat” membentuk tingkah laku individu. Secara metodelogi kolekivisme, ia merupakan suatu jaraj menentang terhadap individualisme. Bentuk permintaan dari penjelasan sosial lebih jauh dipilah dalam garis perbedaan yang dierima oleh masyarakat dan nefara berupa:
a.       Economism,  yang menyatakan (sebagaimana yang dilakukan liberal) bahwa proses politik merupakan suatu hasil dari proses bukan politik, tetapi liberal melihat proses politik sebagai suatu hasil dari interaksi antara tekanan sosial. Tekanan tersebut (diperkirakan sebagaimana halnya marxisme) menjadi kelas-kelas, atau seperti dalam teori prulalistic dengan kelompok-kelompok kepentingan. Namun demikian, dalam kedua kasus peluang kedua negara atau lainnya yang lebih spesifik, struktur politik tersusun, dan bereaksi untuk menunjukan kepentingan mereka sendiri yang diperluas.
b.      Politicsm, yang menyatakan bahwa struktur politik dapat membangun kepentingan mereka sendiri dan dapat mengganggu kepentingan mereka tersebut pada kepentingan ekonomi spesifik, “rasionalitas politik” (untuk menggunakan formulasi lain) dapat berlaku atas rasionalitas ekonomi: “power” dilihat sebagai fundamen untuk pembentukan sistem ekonomi.
Proses timbal balik ekonomi dan politik menurut Ikbar (2007: 10-11) paling tidak dipengaruhi oleh tiga unsur penting, tentang cara di mana faktor politik mempengaruhi hasil ekonomi, yaitu:
1)      Sistem politik membentuk sistem ekonomi, karena struktur dan kerja sistem ekonomi internasional (dalam arti luas) ditentukan pula oleh struktur dan kerja sistem politik internasional
2)      Pandangan-pandangan politik seringkali membentuk kebijakan ekonomi, oleh sebab kebijakan ekonomi pada umumnya didikte oleh kepentingan-kepentingan politik
3)      Hubungan ekonomi internasional itu sendiri merupakan hubungan politik, karena interaksi ekonomi internasional seperti interaksi politik internasional, merupakan proses dimana aktor negara dan bukan negara melakukan dan atau mengalami:
a)      Mengatasi konflik atau kegagalan mengatasi konflik
b)      Bekerjasama atau mengalami kegagalan dalam mencapai tujuan bersama.
Sementara itu hubungan atau subordinasi antara pemerintah dan pasar akan saling mempengaruhi, hal tersebut menurut Lindblom dalam Ikbar (2007:13) akan menghasilkan suatu bentuk figur dominasi dari salah satunya. Dasar dari ekonomi politik tersebut adalah pasar, kekuasaan negara, dan persuasi. Secara teoritis dikemukakan hubungan antara negara, pengelasan, dan hubungan ekonomi dalam tiga bentuk:
1)      Negara memiliki kekuatan yang mengatur dan mengontrol dinamika sosial
2)      Merupakan kebalikan dari konsep diatas (1) dimana negara adalah alat kaum elit yang menjalankan kepentingan dari kelas sosial yang mendominasi
3)      Negara di pandang sebagai bagian dari suatu kompleks proses sosial, politik dan ekonomi dimana didalamnya terkandung gabungan antara proses-proses kenegaraan dan proses dalam kelas sosial. Proses negara dan kelas sosial bertemu dalam suatu titik berupa aktivitas produksi dan distribusi.
Sumber Ikbar, Yanuar. 2007. Ekonomi politik internasional 2 implementasi konsep dan teori. Refika Aditama: Bandung









[1]Pada teori yang bersifat parsimoni  menurut Ikbar (2007:7) dapat diamati berupa proses memproyeksikan berbagai teori untuk dapat menjelaskan atau bahkan memprediksikan sesuatu realitas umum (general) dari realitas yang khusus. Disini terkandung sejumlah variabel dari berbagai kemungkinan dengan bagiannya yang kecil-kecil pula, sehingga dapat untuk menjelaskan segala bentuk interaksi dalam ekonomi politik. Contohnya para aktor pembuat keputusan meyakini penuh adanya implikasi kebijaksanaan pemerintah negara yang memfokuskan keuntungan komparatif berdasarkan teori general yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk melihat gejala kekhususannya. 

Minggu, 01 November 2015

Peran Pembisik Elit Pesantren Dalam Formulasi Peraturan Daerah (Perda) no. 7 Tahun 2014 Mengenai Tata Nilai Religius Kota Tasikmalaya

Judul:Peran Pembisik Elit Pesantren Dalam Formulasi Peraturan Daerah (Perda) no. 7 Tahun 2014 Mengenai Tata Nilai Religius Kota Tasikmalaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesantren pada dasarnya lahir dan berkembang ditengah masyarakat sebagai sebuah medium antara kiyai dan santri,dimana kiyai diyakini sebagai orang atau tokoh yang mengerti dan faham semua urusan agama,sosial,culture dan nilai nilai yang berkembang di tengah masyarakat(baik dan buruk),sedangkan santri diposisikan sebagai bagian dari masyarakat yang awam terhadap urusan agama dan bermukim dipondok pesantren sebagai upaya menuntut ilmu agama,sosial culture dan nilai nilai yang kelak bermanfaat baik dari dimensi agama maupun kemasyarakatan. Cara pandang masyarakat khususnya santri yang demikian,secara tidak langsung disadari atau tanpa disadari telah melahirkan pengkultusan bahwa sosok kiyai yang banyak mengetahui dan memahami semua dimensi keagamaan sebagai manusia purna yang suci dan anti dosa(insan kamil)akibatnya setiap tindakan dan ucapan kiyai harus dipatuhu tidak terkecuali sikap ta’jim terhadap kiyai. Keberadaan pesantren pada awalnya hanya terbatas pada dimensi otestik(keagamaan)dan selebihnya hanya menilai baik burujnya sosioculture masyarakat,akantetapi seiring berjalanya waktu dan kondisi sosial terlebih munculnya kolonialisme di nusantara memicu reaksi dari elit pesantren terhadap segala bentuk kolonialisme,terutama adanya prasangka dan kekwatiran kaum ulama terhadap tujuan kedatangan kolonialisme yang mengusung gagasan 3G(gold,glory dan gospel). Sikap akan kekwatiran para kiyai ini diartikulasikan dalam bentuk resistensi terhadap kolonialisme dengan jalan perlawanan baik fisik maupun psikis.perjuangan dan pemikiran melawan kolonialisme terus di gelorakan demi tegaknya syariat dan kebebasan menjalankan agama sekaligus counter attack terhadap subculture 3G kolonialisme,dengan kata lain pesantren mulai memainkan perananya dalam politik kebangsaan. Perjuangn dan pemikiran elit pesantren dalam politik kebangsan ini mulai meminimalisir gave antara dimensi otestik dan dimensi profane,hal ini membuktikan bahwa permasalahan agama dan agamam memiliki relevansi yang erat terhadao eksistensi umat dan tidak bisa di lepaskan begitu saja tanpa control dan “fatwa”. Dinamika pesantren dan negara(politik) tidak hanya berhenti pada masa kolonialisme,jauh dari itu kepentingan elit pesantren dan negara mencapai titik kulminasi disaat terjadinya arbitrase antara tokoh pesantren yang menginginkan daulah islamiyah dengan tokoh nasionalisdalam perumusan dasar dasar konstitusi negara yang terdapat dalam konstitusi pancasila atau piagam jakarta. Kekalahan barganing power dan position elit pesantren dalam pormulasi konstitusi negara ini menjadi triger terhadap munculnya sikap ekstrimisme faham islam militan (legal ekslusive) yang menginginkan terbentuknya negara syariat islam,dan hal ini pula yang menjadikan alergi terhadap ideologi islam dikalangan nasionalis dan moderat. Meskipun demikian eksistensi elit pesantren “ideologi islam “khususnya yang terfersonapikasikan dalam refresentasi partai politik masyumi dan NU kerap kali menunjukan barganing position dan power ,hal ini nampak pada elektabilitas partai tersebut yang mampu menempati posisi 4 besar di pemilu era soekarno.hal ini pula yang menjadi cikal bakal lahirnya ideologi nasakom sebagai instrumen politik soekarno dalam mempertahamkan eksistensi kepemimpinanya,dilain pihak ideologi nasakom justru menjadi titik awal sentimen negatip elit islam terhadap legitimasi soekarno yang mulai ke “kiri-kirian”. Memasuki era soeharto,ideologi islam khususnya partai politik masyumi dan pecahanya mulai teralienasi dan terdiskriminasi bahkan prtai masyumi dibekukan karena dianggap subversif.sikap alergi terhadap partai berideologi islam tergambar jelas pada peristiwa “fusi” peleburan partai partai islam yang direfresentasikan kedalam PPP dengan monoideologi yaitu pancasila.hal serupa juga terjadi pada pesantren yang pada awalnya memiliki control kuat terhadap masyarakat maupun negaramulai di cooptasi oleh soeharto dan dijadikan instrumen politik melalui “political culture”terlebih adanya khitahh pada muhtamar NU yang menghendaki para kiyai untuk kembali kepesantren tanpa berjuang di kancah politik praktis dan politik struktural. Pasca reformasi euforia kebebasan berserikat dan berpendapat dalam demokrasi dirasakan juga oleh pesantren,elit elit pesantren seakan turut berkompetisi dalam politik praktis dan struktural,terlebih dengan adanya desentralisasi yang memungkinkan daerah memiliki otonomi dalam mengurus pemerintahanya sendiri menjadi angin segar bagi elit pesantren dalam menerapkan nilai nilai keislaman (syariat)dalam regulasi peraturan daerah,ditengah kekalahanya selama ini dalam membentuj negara syariat. Formulasi perda syariat ini bukan hanya dilakukan oleh elit pesntren yang menjadi kepala daerah akan tetapi juga menjadi suatu perwujudan dari deal deal politik antar kepala daerah dengan elit pesantren yang menjadi vote gatter dalam terpilihnya kepala daerah tersebut. Keberadaan pesantren dan elit pesantren dikota tasikmalaya sengatlah berpengaruh terhadap perilaku politik dan budaya politik masyarakat tasikmalaya terutama pemilih tradisional.eksistensi elit pesantren sebagai tokoh yang kharismatik kerap kali menghasilkan deal deal politik antar elit pesantren dan kepala daerah terpilih.diantara deal deal politik tersebut adalah diterbitkanya perda syariah di kota tasikmalaya saat kepemimpinan syarief.pada masa kepemimpinan syarief ini dikeluarkan perda no / tentang tata nilai kota tasikmalaya dan hal ini diyakini sebagai deal politik antara sayarief dan elit pesantren dalam pemenangan pemilu. Hal serupa juga terjadi pada masa kepemimpinan budi dede perda mengenai tata nilai religius kota tasikmalaya dalam perda no 7 tahun 2014 mengisyaratkan bahwa eksistensi elit pesantren selalu berada dibalik kesuksesan kepala daerah dalam pemengan pemilu. Elit elit pesantren seakan memainkan peran penting dalam formulasi setiap kebijakan yang berhubungan langsung dengan tata cara dan nilai yang berkembang dimayarakat,hal ini tidak terlepas dari cita cita pendahulu pesantren kususnya ditasikmalaya yang menginginkan daulah islamiyah. Melihat dinamika yang terjadi antara pesantren dan politik diatas khususnya keberadaan elit pesantren di kota tasikmalaya yang kerap kali terlibat dalam deal deal politik dan selalu menghasilkan perda syariah di setiap pergantian pemimpin daerah sangat menarik untuk dikaji baik dari segi literatur maupun realitas emperis.untuk menjawab ketertarikan tersebut penulis bermaksud menyusun masalah ini dalam tulisan yang berjudul”peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius di kota tasikmalaya” 1.2 Rumusan Masalah dari uraian latarbelakang diatas maka untuk dapat menjawab persoalan yang terjadi perihal dinamika pesantren dan politk,penulis merummuskan permasalahan ini dengan fokus:bagaimana peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no7 tahun2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya? 1.3 Batasan masalah Mengingat kompleknya permasalahan maupun kepentingan antara pesantren dan politik yang terjadii akhir akhir ini,terlebih adanya dinamika persepsi dan pen dekatan yang beragam antara antar pesantren itu sendiri terhadap negara/politik,maka untuk memperjelasdan memberikan gambaran yang utuh,penulis hanya memfokuskan pada peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 tentang tata nilai di kota tasikmalaya dan membatasinya pada teori sistem menurut david eston. 1.4 Tujuan penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan diatas penyusunan penelitian ini bertujuan untuk bisa menjawab persoalan mengenai bagaimana peran pembisik eit pesantren dalam formulasi perda nomer 7 tahun 2014 tentang tata nilai religius kota tasikmalaya sekaligus dapat menyelesaikan tugas penelitian mata kuliah pesantren dan politik 1.5 Manfat penelitian Dengan disusunya tulisan mengenai penelitian ini,penulis berharap apa yang disajikan oleh penulis lewat penelitian ini bisa bermanfaat baik dari dimensi teoritis maupun praktis. (a) Manfaat teoritis Dari dimensi teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai hubungan pesantren dan politik yang kerap kali terlihat harmonis dengan romantisme elit elit pesantren yang bersinggungan dengan politik praktis,pollitik struktural maupunn politik cultural.dan lebih jauhnya bisa dijadikan reverensi atau pembanding antara teori diakademi dan realita empiris yang terjadi sebenarnya di tataran kehidupan bermasyarakat. (b) Manfaat praktis Adapun dari dimensi praktis diharapkan penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi praktisi politik maupun elit elit pesantren dalam menjalankan perananya sebagai aktor di masing masing peran yang dijalankanya sehingga bisa berjalan sesuai dengan koridor dan etika yang seharusnya dilakukan sebagai aktor. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Peran Menurut Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 55), teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa peran itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau tindakan” (h. 143). Lebih lanjut, Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003: 56) mengemukakan bahwa relevansi suatu peran itu akan bergantung pada penekanan peran tersebut oleh para penilai dan pengamat (biasanya supervisor dan kepala sekolah) terhadap produk atau outcome yang dihasilkan. Dalam hal ini, strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi peran dan persepsi peran atau role perception (Kahn, et al., 1964; Oswald, Mossholder, & Harris, 1997 dalam Bauer, 2003: 58) Scott et al. (1981) dalam Kanfer (1987: 197) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu: 1. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya, bukan individunya. 2. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu. 3. Peran itu sulit dikendalikan – (role clarity dan role ambiguity) 4. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa perubahan perilaku utama. 5. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama – seseorang yang melakukan satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran. 2.2 Definisi Pembisik Artikata pembisik dalam kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai orang yang membisikan sesuatu kepada orang lain dan orang yang berugas membisikan apa yang harus dikatakan oleh pemailain dalam sandiwara. Dari definisi diatas dapt disimpulkan bahwa pembisik adalah orang orang mampu mempengaruhi pemikiran dan pendapat seseorang baik itu tokoh fublik,pejabat,maupun lainya secara diam diam yang cenderung sangat dekat secara personal dengan orang tersebut dan biasanya seorang pembisik itu mampu menguasai informasi 2.3 Teori elit menurut mills ( ) ellit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranata pranata utama dalam masyarakat.dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. 2.4 Model Formulasi Kebijakan Dan Teori Sisitem Menurut Thomas R. Dye ( 1995 ) ada 9 model dalam merumusakan kebijakan publik. 1. Model Kelembagaan Formulasi kebijakan dengan model ini bermakna bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas pemerintah (lembaga legislatif ). Jadi apapun yang dibuat pemerintah adalah kebijakan publik.Dye membenarkan model ini karena 3 alasan : 1) pemerintah memang lembaga yang sah dalam membuat kebijakan 2)fungsi pemerintah universal 3) pemerintah punya hak monopoli fungsi pemaksaan. Kelemahan pendekatan ini adalah terabaikannya masalah lingkungan tempat diterapkannya kebijakan karena pembuatan kebijkan tidak berinteraksi dengan lingkungan. 2. Model Proses Politik adalah sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. proses yang diakui dalam Model proses ini adalah sebagai berikut : a. Identifikasi Permasalah b. Menata Agenda Formulasi Kebijakan c. Perumusan Proposal Kebijakan d. Legitimasi Kebijakan e. Implementasi Kebijakan f. Evaluasi kebijakan Matrik dari Charles O Jones dapat anda temukan DISINI 3. Model Kelompok Model kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan ( equilibrium ). Disini beberapa kelompok kepentingan berusaha mempengaruhi isi dan bentk kebijakan secara interaktif ( Wibawa, 1994,9) 4. Model Elit Berkembang dari teori elit masa dimana masayakat sesungguhnya hanya ada dua kelompok yaitu kelompok pemegang kekuasaan (elit ) dan yang tidak memegang kekuasaan. kesimpulannya kebijakan yg muncul adalah bias dari kepentingan kelompok elit dimana mereka ingin mempertahankan status quo. Model ini tidak menjadikan masyarakat sebagai partisipan pembuatan kebijakan. 5. Model teori Rasional Pengambilan kebijakan berdasarkan perhitungan rasional. Kebijakan yang diambil adalah hasil pemilihan suatu kebijakan yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Disini terdapat cost-benefit analysis atau analisa biaya dan manfaat. Rangkaian formulasi kebijakan pada model ini : a. Mengetahui preferansi publik dan kecenderungannya b. Menemukan pilihan pilihan c. Menilai konsekuensi masing masing pilihan d. Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan e. Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien 6. Model Inkremental Model ini adalah kritik dari model rasional, karena tidak pembuat kebijakan tidak cukup waktu, intelektual dan biaya. Dengan model pemerintah menurut dengan kebijakan dimasa lalu yang dimodifikasi. Kesimpulannya Kebijaka inkremental adalah berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk mempertahannkan kinerja yagn telah dicapai. 7. Model Teori Permainan Gagasan pokok dari kebijakan dalam model teori permainan adalah : a. Formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi yang intensif b. Para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependen Kunci memenang kebijaka dalam model ini adalah tergantung kebijakan mana yang tahan dari serangan lawan bukan yang paling optimum. So defensif 8. Model Pilihan Publik Model ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. ( Publik Choise) Secara umum model ini adalah yang paling demokratis karena memberikan ruang yang luas kepada publik untuk mengontribusikan pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Namun terkadang kebijakan yang diambil adalah kepentingan dari pendukung suatu partai maka dari itu pemuasan yang diberikanpun hanya sepihak yaitu pada pemilih. 9. Model Sistem David Easton model sistem secara sederhana dapat dilihat seperti input-proses-output. Kelemahan Model sistem adalah keterfokusan hanya pada apa yng dilkakukan pemerintah namun lupa tentang hal yang tidak dilakukan pemerintah. Sementara itu menurut David Easton (1984:395) teori sistem adalah: suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah). Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut: 1. Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi. 2. Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat). 3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output) 2.5 Definisi Peraturan Daerah(Perda) pengertian peraturan daerah kabupaten/kota disebutkan dalam pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut : Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. BAB III METODE PENELITIAN 2.6 Pendekatan Atau Jenis Penelitian Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan teknik penelitian ekploratif yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan terlebih dahulu atau mengembangkan hipotesis untuk penelitian lanjutan,penelitian eksploratif perlu mencari hubungan gejala gejala sosial ataupun fisik untuk mengetahui bentuk hubungan tersebut. 2.7 Lokasi penelitian Tempat atau lokasi penelitian mengenai peran pembisik elit pesantren dalam formulasi perda no 7 tahun 2014 ini akan dilaksanaka di kota tasikmalaya dengan fokus dan lokus penelitian terhadap MUI dan elit pesantren yang memiliki peranan yang kuat(barganing position dan power) terhadap pemerintah 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua data yaitu: a) Data primer yaitu data yang diusahakan atau didapatkan langsung oleh peneliti Data ini di dapat melalui metode wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpulan data terhadap narasumber. Narasumber dalam penelitian ini adalah MUI,elit pesantren yaang memiliki kedekatan dengan pemerintahan dan anggota komisi DPR yang bersangkutan dengan formulasi kebijakan ini. selain itu juga dilakukan melalui observasi yaitu teknik pengumpulan data yang digunakan untuk merekam berbagai fenomena yang terjadi(situasi,kondisi b) Data sekunder yaitu data yang didapat dari orang atau instansi lain baik dari dokumentasi maupun data penunjang lainya . 3.4 Analisis Data Metode dalam analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif dengan model analisa interaktif yang digunakan selama proses penelitian. Menurut Miles dan Huberman (Usman dan akbar Setiady, 2011 : 85-88) dalam teknik ini ada tiga komponen pokok analisa, yaitu reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi. 1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transpormasi data “Kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengtode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan lain sebagainya dengan maksudmenyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengategorisasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi. 2. Penyajian Data Penyajian data adalah pendeskripsian sekumpulan informasi tersususn yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualiatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semua dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami. 3. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan kegiatan di akhir penelitian kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA https://jodenmot.wordpress.com/2012/12/29/teori-peran-pengertian-definisi/ diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.00 wib http://taufiknurohman25.blogspot.co.id/2011/04/teori-sistem-david-easton.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.30 wib http://k uliahadministrasinegara.blogspot.co.id/2013/12/model-perumusan-kebijakan-publik.html diaakses tanggal 26 oktober 2015 jam 19.50 wib

Kamis, 17 September 2015

resume berganing position partai politik/ideologi politik

Persaingan Positioning Ideologi Politik Ideology merupakan identitas yang menyatukan satu kelompok atau golongan dan sekaligus sebagai pembeda dengan kelompok atau golongan lain(gerring:1997).
 Masing masing partai politik akan berusaha memperkuat identitasnya sehingga akan memudahkan para konsetuen dalam mengidentifikasikan posisi parpol dalam persoalan yang dihadapi. yang nantinya akan berimbas kepada posisi “pencitraan” partai politik sebagai partai politik yang mampu memecahkan persoalan strategis dalam persainganya dengan partai politik lain. Persaingan sangat dibutuhkan parpol karena didasari oleh beberapa hal:
 a) Terciptanya evaluasi secara objektip. perihal program (marketing politik) visi misi ideology dll sudah benar ataukah tidak,hal ini dilihat dari seberapa besar elektabilitas parpol. 
b) Untuk memotivasi parpol agar terus berusaha lebih baik dan tidak mudah puas dengan pencapaian yang telah diraih. persaingan selalu mengandung ancaman bagi parpol pemenang pemilu, sementara konsetuen juga memiliki funishment terhadap partai politik dengan cara tidak memilihnya lagi apabila yang dilakukan partai politik tidak sesuai dengan janji pemilu. 
c) Memberikan dinamisitas interaksi ,karena partai politik mencoba memberikan yang terbaik bagi masyarakat melelui persaingan.Tekanan Baru Dalam Berpolitik.
 Revitalisasi partai politik dan system politik di Indonesia sangatlah di butuhkan sebagai dampak terkerangkengnya system politik di masa orde soeharto, akan tetapi pasca terjadinya reformasi euphoria dan kurangya perhitungan membuat system politik bergerak “liar” tanpa arah yang jelas.semangaat untuk menjalankan system dan budaya demokrasi terututup oleh isu tentang rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, muncul gagasan tentang calon independent, ketidak mampuan partai politik dalam menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat.sehinggga semua pihak tertuju pada organisasi yang dinamakan partai politik. 
Partai politik diberikan kewenangan untuk mencalonkan kader terbaiknya dalam pemilu baik tingkat pusat maupun daerah,dengan kata lain kualitas pemimpin yang akan memimpin pusat dan daerah akan sangat tergantung pada kualitas kaderisasi yang dilakkan oleh partai politik sebagai salah satu tujuan partai politk itu didirikan.
 Tekanan Organisasi Partai Politik Memperjuangkan aspirasi dan ideology politik perlu dilakukan secara kolektip dan memiliki jarungn yang baik,sehingga partai politik akan dapat dengan mudah membentuk image dan positioning dalam masyarakat,oleh karena itu sudah tepat apabila partai politik dijadikan sebagai organisasi yang berperan sebagai unit analisis dan berperan penting dalam system demokrasi yang bukan dijadikan sebagai kendaraan politik semata. Organisai partai poltik perlu di desain sedemikian rupa sehingga nantinya akan dapat menjaminprinsip pprinsip pengelolaan organisasi modern seperti struktur dan proses organisasi yang menjamin kelangsungan arus informasi vertical horizontal dalam organisasi politik. partai politik juga gituntut cepat dalam merespon perubahan yang mendasar terjadi di masyarakat. Hal ini semua membutuhkan desain struktur dan budaya organisasi yang memeungkinkan partai politik fleksibel,dan system koordinasi pusat daerah juga disususn sehingga memungkinkan terjadinya integrasi yang memuat koordinasi dan control yang efektif,dimana keputusan pusat/DPP akan segera diimplementasikan dilevel daerah. Tekanan Pemilih Pergeseran pola struktur dan interaksi masyarakat Indonesia di awali dengan di bukanya kesempatan statsiun TV swasta dan sekaligus mengakhiri monopoli TVRI sebagai TV nasional pemegang sumber berita. Pergeseran juga ditandai dengan sikap kritis masyarakat seperti edi sri edi swasono dan beberapa aktivis buruh terhadap penyimpangan praktik politik dan ekonomi era soeharto,puncaknya terjadi saat gerakan reformasi yang dilakukan elemen masyaraka(buruh,mahasiswa,elit,professional.dll) yang menghadirkan anti tesis orde soeharto dan membuat prinsip baru seperti gerakan anti KKN,transparansi dan jaminan kebebasan akses terhadap penguasaan sumberdaya politik dan ekonomi. Salah satu kebijakan anti tesis ini adalah dikeluarkanya UU no 32/2004 tentang pemerintahan daerah yang mengatur pemilihan umum kepla daerah secara langsung.dan juga melalui UU no31/2002 tentang partai politik yang memungkinkan masyarakat untuk membentuk partai politik,sehingga jumlah partai politik menjelang pemilu 2004 sebanyak 268 dan hanya 24 yang mengikuti pemilu. Besarnya jumlah partai politik ini membuat masyarakat bertanya perihal keefektivitasan dan motivasi didirkanya partai politik sehingga partai politik mulai dipandang sebagai institusi yang penting bagi system demokrasi.akan tetapi Kegagalan partai politik dalam memenuhi harapan masyarakat dan asfirasi masyarakat akan meningkatkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Tekanan Pesaing Dari sisi persaingan partai politik juga harus bersaing dengan partai politik lainya dalam memperebutkan dukungan dan suara dari masyarakat. Besarnya jumlah partai politik yang mengikuti pemilu jelas akan menambah nuansa dan tekanan persaingan.konsep yang pada era soeharto hilang tiba tiba menjadi hal yang sangat penting ,seringakli koalisi antar partai dibentuk untuk meningkatkan posisi tawar menawar dan memperbesar kumungkinan untuk menang dalam pemilukada dan pilpres. Dengan adanya pers dan media lainya dijadikan partai pemilu sebagai marketing politik dalam meraup elektabilitas sedangkan bagi masyarakat pers dan media ini dijadikan sebagai monitor terhadap partai poiltik apalagi dengan adanya keterbukaan dan trasnparansi memudahkan masyarakat mengakses program partai politik. Akibatnya partai politk diharuskan untuk memonitor dan mengevaluasi setiap strategi dan aktivitas yang dilakukan partai politiknya dan partai politik lainya,seperti prinsip zero sum game dimana setiap kemenganan dari satu pemain merupakan kekalahan dari pihak lain.dengan asumsi jumlah pemilih sudah maksimum,tugas utama partai politik untuk memenangkan pemilu adalah memperkuat diri dan merebut basis dukungan parati lainya. dengan hanya mengandalkan konsetuen dan pemilih tradisional jelas tidak akan memenangkan pemilu, partai politik perlu secara agresif dan aktif mencari dan memburu suara di luar basis pendukung tradisional.hubungan aksi dan reaksi antar partai akan membuat partai politik saling memerhatikan semua strategi dan maneuver politik yang dilakukan partai lain,setiap maneuver akan mempengaruhi jumlah dukungan yang diterima partai politik lain sehingga akan membuat waspada setiap partai.Keberhasilan dan prestasi suatu partai merupakan kekalahan partai lainya.

pesantren dan politik

PESANTREN DAN POLITIK (Pengaruh Pesantren Terhadap Perilaku Politik Santri Dan Konstelasi Politik Local ) MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pilkada Dan Konstelasi Politik Local Oleh Yosef Nursymsi 123507022 FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOCIAL UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis bisa menyusun makalah ini sesuai dengan yang diharapkan dan tepat pada waktunya. Penulis ucapkan terima kasih yang setulusnya kepada dosen pengampu mata kuliah pilkada dan konstelasi politik local yang telah banyak memberikan sumbangsih refernsi dan keilmuan di bidangnya. Adalah harapan penulis sekiranya penyusunan makalah ini bisa memiliki manfaat yang sebaik baiknya bagi pembaca khususnya bagi penulis sendiri perihal khasanah wawasan politik local yang baru. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari segi pemahaman akan teoritis maupun dari structural penulisan ilmiah yang semestinya,dengan lapang dada dan kebesaran hati penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan didalam penulisan makalah selanjutnya Akhir kata penulis ucapkan selamat membaca semoga bermanfaat Tasikmalaya 30 juni 2015 Penulis   DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 1 DAPTAR ISI 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 3 B. Rumusan Masalah 4 C. Tujuan Makalah 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Kiyai 5 B. Pandangan Islam Terhadap Politik 5 C. Bentuk Budaya Politik 5 BAB III PEMBAHASAN A. Pengaruh pesantren”kiyai” terhadap perilaku politik santri dan masyarakat 7 B. Relasi pesantren dan konstelsi politik local 9 BAB IV A. KESIMPULAN 12 B. SARAN 13 DATAR PUSTAKA   BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang paling tua dalam mengembangkan ajaran agama islam di nusantara dan memliki nilai historis terhadap gerakan social keagamaan.pada awalnya pesantren lahir dan berkembang karena danya tuntutan dari masyarakat muslim nusntara untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran,khususnya yang bersifat religius,oleh karena itu keberadaan pesantren selalu diterima dan diakui keberadaan dn eksistensinya oleh masyarakat sekitar dalam hubungan yang harmonis. Pesanren juga dipandang sebagai medium budaya kehidupan masyarakat,artinya didalam aktivitas pesantren tidak hanya sebatas mengajarkan tentang pendidikan agama akan tetapi lebih jauhnya pesantren juga memiliki fungsi untuk menanamkan nilai nilai spiritual,moral dan social kemasyarakatan sebagai bekal paa santri dalam menghadapi kehidupan bermasyarakt supaya dapat menjalankan peran sosialnya sebagai insane yang berahlak. Peran pesantren mengalami beberapa fase sejalan dengan perkembangan social culture Negara ini.pada fase pertama pra kolonialisme pesantren berperan khusus dalam mengajarkan dan menyebarkan ajaran islam ke seluruh pelosok nusantara.fase kedua masa kolonialisme,pada masa ini pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pendidikan tetapi juga menjadi basis kekuatan dalam menggalang perlawanan(power resisten)terhadap segala bentuk kolonialisme di berbagai daerah,terlebih adanya usaha misonaris yang menunggangi kolonialisme untuk menyebarkan agama Kristen(gosfel) khususnya di wilayah Indonesia timur. Fase ketiga yaitu pasca kemerdekaan NKRI,pergeseran peran pesantren pada masa ini terjadi akibat adanya dukungan dan keperayaan masyarakat terhadap eksistensi kiyai dan pesantren terutama masyarakat yang melihat sumber kekuatan dan otoritas dari pandangan kharismatik.sehingga pesantren dan kiyai di dipandang sebagai basis kekuatan politik yang mampu mengarahkan perilaku politik para santri dan masyarakat sekitarnya. Pergeseran pesantren dan kiyai sebagai basis kekuatan politik kerap kali dijadikan ajang perebutan simpati dan restu bagi para kontestan perhelatan politik,baik pada saat PILEG PILKADA maupun PILPRES.melihat dinamika peran dan fungsi pesantren yang terus berkembang terutama sebagai basis kekuatan politik local yang mampu mengarahkan prilaku politik santri dan masyarakat ini sangat menarik untuk di kaji dalam makalah yang berjudul”pesantren dan politik(peran pesantren terhadap prilaku politik santri dan konstelasi politik local). B. Rumusan masalah Mengingat begitu kompleknya peran pesantren dalam mentranspormasi nilai nilai kehidupan dan beragama,maka penulis membatasi permasalahan pesantren ini dalam spectrum politik yang dirumuskan sebagai berikut: a) Bagaimana peran pesantren “kiyai”terhadap perilaku politik santri b) Bagaimana relasi pesantren dan politik locall C. Tujuan makalah Selaras dengan rumusan masalah diatas,maka penyusunan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut: a) Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah pilkada dan konstelasi politik lokal b) Untuk mengetahui tentang peran pesantren”kiyai:terhadap perilaku politik santri. c) Untuk mengetahui tentang relasi pesantren dan politik local. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. peran kiyai hiroko korikosi(1987)bahwa”kiyai adalah perantara (intermetary force) sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat B. Pandangan islam terhadap politik Menurut Bj.bollen (1982)”ketertarikan umat islam terhadap politik bukan saja karena kemampuan partai politik dalam memperjuangkan dan membela kepentingan islam,tetapi karena adanya tipologi islam dalam memandang hubungan politik dengan islam” C. Bentuk budaya politik a) budaya politik parokial ( parochial political culture )tipe budaya politik yang orientasi politik individu dan masyarakatnya masih sangat rendah. hanya terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit. individu tidak mengharapkan apapun dari sistem politik. tidak ada peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri. biasanya terdapat pada masyarakat tradisional b) budaya politik subjek ( subject political culture ) masyarakat dan individunya telah mempunyai perhatian dan minat terhadap sistem politik. meski peran politik yang dilakukannya masih terbatas pada pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah dan menerima kebijakan tersebut dengan pasrah. tidak ada keinginan untuk menilai , menelaah atau bahkan mengkritisi c) budaya politik partisipan ( participant political culture merupakan tipe budaya yang ideal. individu dan masyarakatnya telah mempunyai perhatian, kesadaran dan minat yang tinggi terhadap politik pemerintah. individu dan masyarakatnya mampu memainkan peran politik baik dalam proses input (berupa pemberian dukungan atau tuntutan terhadap sistem politik) maupun dalam proses output (melaksanakan, menilai dan mengkritik terhadap kebijakan dan keputusan politik pemerintah). BAB III PEMBAHASAN A. Pengaruh pesantren”kiyai” terhadap perilaku politik santri dan masyarakat Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama informal temtunya memiliki karakteristik tersendiri yang unik satu sama lainya,setidaknya kondisi sosio culture masyarakat sekitar bias saja mempengaruhi cara pengajaran dan program-program pengajaran di civitas pesantren,atau bahkan sebaliknya peran dan figure pesantre”kiyai”dapan merekonstruksi tata nilai social culture santri dan masyarakat sekitar,terlebih di wilayah yang masih kental unsure unsure kebudayaan dan metafisika,sosok kiyai dipandang sebagai figure ideal yang layak dijadikan panutan dan di minta petuahnya. Sikap dan perilaku santri maupun masyarakat terhadap kiyai ini seakan tidak bisa dilepaskan satu sama lainya,keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme layanya dua sisi mata uang.di satu sisi kiyai membutuhkan seorang santri dan masyarakat sebagai objek pengajaran dan pengamalan ilmunya sebagai penrus perjuangan syiar agama,disisi lain santri dan masyarakat juga membutuhkan kiyai sebagai pembingbing dan pengampu berbagai ilmu keagamaam dan social culture masyarakat yang keberadaanya harus dijunjung tinggi. Kehadiran sosok kiyai yang menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan,dengan sendirinya menimbulkan kewibawaan kharismatik bagi para santri dan masyarakat sekitar.Dengan adanya otoritas kharismatik memudahkan bagi kiyai untuk mengontrol dan mengukuhkan pengaruhnya terhadap santri dan masyarakat sekitar sebagaimana yang dijelaskan oleh max weber( ) bahwa”charisma memainkan peran penting dalam kehidupan social masyarakat,juga menjadi penentu dalam orientasi politik” Otoritas kiyai dari segi power of kharismatic kerap kali menimbulkan sikap ta’jim (patuh turut)santri terhadap titah yang diucapkan oleh kiyai,bahkan disatu sisi otoritas kharismatik sering bergeser mendekati otoritas tradisionaldimana sosok kiyai siyakini sebagai sosok yang bersih,mulya dan luput dari kekeliruaan(trustee),hal ini dipertegas dengan berbagai kajian lliteratur para santri dalam menuntut ilmu yang memungkinkan terjaganya kewibawaan kiyai seperti kitab kuning. Menurut masthur(1994)”ta’lim mutualim karangan syekh zanuazi yang menjadi pedoman para santri dalam menuntut ilm,diantara isinya adalah bahwa kunci sukses menuntut ilmu adalah murid wajib menghormati guru dan kitab yang di ajarkanya” Sikap hormat santri dan masyarakat terhadap kiyai ini diartukulasikan dan di internalisasi sebagai penerimaan setiap sikap dan keputusan yang di ambil oleh kiyai.sehingga sikap dan pilihan santri akan terus berafiliasi terhadap kiyai,oleh karena itu lambat laun akan melahirkan budaya aatau perlakuan politik yang bersifat parochial yaitu “sikap dan perilaku poltitk masyarakat yamg memiliki orientasi masih lemah terhadap empat tingkatan bentuk berikut: a) Tingkat pengetahuan umum yang dimiliki masyarakat mengenai system politik Negara b) Pemahaman masyarakat mengenai struktur dan peran pemerintah dalam membuat kebijakan c) Pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang meliputi input dari masyarakat d) Partisipasi dalam kegiatan politik dan bernegara,hakdan kewajiban sebagai warga negara. Maka setiap keputusan yang bersangkutan dengan adpek politik baik yang bersifat ekonomi social dak keagamaan sepenuhnya diserahkan langsung kepada ketua adat,tokoh masyarakat”oleh karena itu kiyai dipandang bukan hanya memiliki pengaruh dan peran dalam tatanan keagamaan lebih jauhnya kiyai juga dipandang sebagai figure penentu dalam peranata kehidupan bermsayarakat. B. Relasi pesantren dan konstelsi politik local Pesantren secara khitah merupakan lembaga dakwah seakligus pendidikan bagi santri dan masyarakat yang menitik beratkan pada dimensi teologi dans,fatalistic,dan keihlasan terkait dengan dimensi osolerik yang bersifat metafisika.Sedangkan politik merupakan dimensi profane yang bersifat sekuler dan selalu bebrbicara perihal kekuasaan. Kedua spectrum tersebut pada dasarnya sangat bertolak belakang namun pada kenyataanya sulit sekali untuk dipisahkan.hal ini bias dilihat dari peran pesantren dalam dekada terakhir. Dimana pada masa orde baru pesantren lebih memegang peranan hanya sebatas budaya atau yang lebih dikenal sebagai culture broker,mengingat pada masa orde baru polititk di kalangan pesantren sulit sekali di terima oleh masyarakat,bahkan bantuan dari pemerintah maupun parati politik kepada pesantren dianggap sebagaipencedraan terhadap citra kiyai.implikasinya pesantren jadi sepi dari para santri yang akan menuntut ilmu keagamaan pada kondisi terburuknya,kiyai akan kehilangan legitimasi dan charisma atas santri dan masyarakat. Pasca reformasi pesantren mulai memasuki ranah structural(politik praktis) dengan beberapa kiyai yang masuk kedalam struktur kepengurusan parati politik,menjadi anggota legislative,kepala daerah bahkan pesantren jawa berdomisili di jawa yang berafiliasi terhadap NU menginternalisasikan dirinya pada generalisasi idiologi dan partai politik PKB untuk mensukseskan KH.Abdurahman wahid sebagai presiden. Menurut Bj.bollen (1982)”ketertarikan umat islam terhadap politik bukan saja karena kemampuan partai politik dalam memperjuangkan dan membela kepentingan islam,tetapi karena adanya tipologi islam dalam memandang hubungan politik dengan islam” Tipologi islam dalam memandang hubungan politik dengan islam bsa di kategorikan sebagai berikut: a) Idiologi dimana politik dipandang sebagai hal yang penting dan sikap politik seseorang sama halnya dengan seperti memeluk islam sebagai keharusan b) Kharismatik yaitu cara pandang seseorang dalam sikap politiknya didasari terhadap kefiguran ,artinya sikap politik sesorang sangat dipengaruhi oleh tokoh atau pemuka agama yang memiliki pengaruh dan charisma dan seseorang hanya mengikuti apa yang di putuskan tokoh kharismatik tersebut. c) Rasional yaitu cara pandang seseorang terhadap politik dengan jalan mempertimbangkan dari aspek kapabelitas dan kapasitas politisi tersebut. Peran pesantren dalam konstelasi politik local khususnya di tasikmalaya secara tidak langsung memiliki andil yang besar terhadap prilaku politik santri dan masyarakat khususnya pada perhelatan pemilu,bahkan banyak diantara elit pesantrenn yang ikut serta dalam politik praktis ini,seperti KH Asep Maosul affandi yang merupakan keturunan dari pendiri pondok pesantren Miftahul Huda,maupun kemenangan UU rhuzanul ulum yang mendapat dukungan dari pesantren mifatahul huda dan HAMIDA(himpunan alumni miftahul huda) yang terdapat di berbagai pelosok nusantara terutama di tasikmalaya. Masyarakat tasikmalaya khususnya masyarakat yang berada di pedesaan yang berlatar belakan ekonomi dan pendidikan menengah ke bawah masih cenderung berprilaku politik tradisional dengan lebih mempertimbangkan aspek kharismatik dari yang mengarahkan maupun dari sosok pemimpin yang akan di pilih ketimbang melihat aspek pengetahuan visi misi dan kapabelitas.disinilah peran kiyai sebagai tokoh yang kharismatik berpengaruh penting terhadap perilaku politik masyarakat. Pengaruh kiyai seolah olah telah bertransformasi menjadi barganning power dan position bagi elit politik local maupun nasional dalam vote gatter.para elit politik local maupun nasional kerap kali bersilaturrahmi ke pesantren dan kiyai dengan tujuan untuk mendapatkan restu sebagai symbol dukungan kiyai terhadap elit politik tersebut. Dalam posisi ini kiyai dapat melakukan lobi politik dan deal deal politik sebagai timbal balik dari dukunganya untuk kepentingan umat seperti yang diungkapkan hiroko korikosi(1987)bahwa”kiyai adalah perantara (intermetary force) sebagai agen yang mampu menyeleksi dan mengarahkan nilai nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat” Deal deal politik kiyai terhadap elit politik local bias dilihat dari di terbitkanya perda sayariah di kota tasikmalaya pada masa syarief hidayat dimana perda tersebut diyakini sebagai umpan balik dari proses system politik yang di prakarsai atas kepentingan golongan kiyai yang ingin membumikan perda syariah di kota tasikmalaya.walaupun pada kenyataanya perda ini hanya bersifat semantic karena pada implementasinya dirasakan sangat nihil. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama islam memiliki peranan yang terus berkembang siring perjalanan social culture negeri ini,pesantren tidak lagi bercokol pada satu tatanan religiusitas yang bersipat metafisika tetapi juga berperan penting dalam merekonstruksi nilai nilai kehidupan bemasyarakat dan bernegara. Sebagai basis kekuatan yang memiliki kharismatik dikalangan santri dan masyarakat local keberadaan pesantren tidak lagi parsial terutama menjelang perhelatan pemilihan umum banyak elit politik local yang memanfaatkan dukungan politik berupa restu dari pesantren untuk meraih simpati masyarakat. Ditataran politik local pesntren bahkan memiliki barganning power dan position yang sangat menarik sehingga memungkinkan trjadinya kontrak politik diantara elit pesantren dan elit partai politik local. Pesantren bisa ditempatkan sebagai pembisik kebijakan pemerintahan local sekaligus sebagai” local strongman” yang berjalan demi kepentingan umat. B. Saran Dari kompleksitasnya permasalahan pesantren terhadap konstelasi politik local diharapkan dengan adanya penyusunan makalah ini bisa dijadikan sebuah rujukan untuk diskusi terbuka demi terciptanya peran pesantren dan kiyai yang seharusnya dalam menempatkan dirinya dalam pusaran politik yang selalu bersinggungan dengan kursi kekuasaan Daftar pusataka

Senin, 17 Februari 2014

POLITISI DAN BANGSAWAN dalam garis pembeda

Perbincangan antara politisi dan negarawan seolah tak ada habisnya. Melihat kondisi Indonesia saat ini yang miskin akan negarawan. Fenomena ini diperparah dengan wajah politik Indonesia sekarang yang amunisinya hanya mengandalkan uang. Politik di Indonesia memang telah berkembang sedemikian rupa menjadi sekedar pertandingan untuk mempertahankan maupun merebut kekuasaan. Kekuasaan telah menjadi "makanan" yang diperebutkan. Dan tidak ada yang lebih penting dalam politik selain hanya menjadi pemenangnya. 
Apa perbedaan antara politisi dan negarawan? Banyak pakar yang berbicara tentang hal ini. Salah satunya adalah Ahmad Fuadi yang mengutip kata-kata “inspiring” dari seorang filsuf Amerika Serikat. “Seorang politisi selalu berpikir tentang pemilu selanjutnya, sementara seorang negarawan selalu berpikir tentang generasi berikutnya,” katanya. Penulis buku Negeri Lima Menara ini juga mengatakan, “Seorang politisi selalu berpikir tentang kesuksesan partai, sementara seorang negarawan selalu berpikir untuk kesuksesan negara. Dari kutipan tersebut cukup jelas, menggambarkan sebuah dikotomi antara negarawan dan politisi, namun kita tetap tidak boleh salah kaprah dengan menelan kutipan tersebut mentah-mentah.
Yang dimaksud dengan negarawan adalah sosok yang merindukan generasi berikutnya. Ialah bukan sekedar generasi yang hadir melalui kelahiran (natality), lalu menambah populasi dan membantu peningkatan kepadatan penduduk. Bukan yang kehadirannya sekedar beriringan dengan kepergian generasi-generasi terdahulu (mortality). Negarawan adalah sosok yang menaruh harapan besar pada kemutakhiran generasi-generasi masa depan yang lebih berkualitas. Generasi baru yang menggantikan generasi-generasi terdahulu yang pantas untuk tergantikan berkat usaha dari seorang negarawan. Walaupun bisa jadi negarawan yang menumbuhkan generasi baru tersebut adalah bagian dari generasi-generasi terdahulu. Namun, semakin seorang negarawan tergantikan dengan generasi yang lebih baik pada masa selanjutnya, maka semakin nyata lah impiannya. Semakin nyata pula indikasi keberhasilan negarawan tersebut menumbuhkan generasi yang memberdayakan dan menumbuhkan generasi-generasi negarawan pada masa-masa berikutnya.
Lalu bagaimana dengan politisi? “Politisi adalah orang yang merindukan pemilu berikutnya”. Memang kutipan James Freeman Clarke tersebut terkesan sangat skeptis terhadap pelaku dan praktisi politik. Namun berdasar pada kutipan Lord Acton yang mengatakan “Power tends corrupt, but absolute power corrupts Absolutely”. Dan mental dasar manusia behaviorally memang mengidamkan dan mengejar jabatan.
Secara umum ciri khas seorang negarawan sebagai berikut:
a.    Memiliki kemampuan yang sangat cemerlang dan jeli, lebih merupakan bakat terpadu dengan keberanian melawan arus dan bertekad melakukan perubahan dan pembaruan struktural,
b.    Berusaha memasuki hal- hal yang total baru, memilih menjadi pelopor atau pionir,
c.    Karena yang dikemukakan adalah yang total baru, maka konsep yang dikemukakan menjadi mengejutkan dan meragukan pihak- pihak yang masih berfikir dalam pola lama,
d.    Mampu menawarkan solusi yang tuntas, mampu menawarkan reformasi total yang positif dan konstruktif, mampu manawarkan revolusi yang konstruktif, mampu menawarkan konsep dan aksi menghentikan krisis besar yang melanda satu bangsa atau beberapa bangsa,
e.    Mampu menawarkan harapan dan peluang nyata, mampu membangun harga diri yang nyata dan bernilai tinggi,
f.     Berani menghadapi resiko bertentangan dengan rezim dan atau kekuatan yang berkuasa.
Sedangkan ciri khas seorang politisi diantaranya:
a.    Kemampuan normal, maksimal mendekati cemerlang, tidak dalam posisi melawan arus, tidak berani mempelopori perubahan dan pembaharuan struktural,
b.    Terpaku pada hal- hal rutin pola lama,
c.    Konsep yang dikemukakan adalah hal- hal lama yang telah berlangsung,
d.    Yang ditangani adalah hal- hal biasa, aksinya tidak menghasilkan reformasi terutama tidak revolusioner, dan total tidak menghentikan krisis, dan pasti mengecewakan masyarakat luas,
e.    Terbatas menawarkan jargon dan retorika yang tidak berguna,
f.     Tidak berani menghadapi resiko bertentangan dengan kekuatan yang berkuasa.
Demikian ciri khas seorang negarawan dan politisi. Tentu terlihat sangat jelas dengan melihat kondisi Indonesia sekarang bahwa masih adakah negarawan sejati di negara ini? Yang nampak hanyalah para politisi yang lahir dari dunia pendidikan tapi berperilaku layaknya orang- orang tak terdidik.Tidak heran kalau banyak yang mengatakan, krisis intelektualitas amat terasa di dunia politik kita saat ini. Proses, dinamika, hingga produk-produk politik banyak yang jauh dari semangat dan nilai intelektualitas. Terbukti beberapa tahun belakangan ini maraknya perbincancangan tentang merosotnya kinerja anggota DPR dalam memperjuangkan nasib rakyat, moralitas dan rasa simpati terhadap rakyat telah berkurang dan yang ada hanyalah gaya hidup yang mewah dan terkesan glamour sangat menonjol ditengah kesusahan rakyat dan korupsi yang merajalela. Sebut saja kasus tentang kebiasaan bolos atau tidak menghadiri rapat diparlemen, banyaknya anggota DPR maupun DPRD yang terjerat kasus korupsi seperti Angelina Sondakh dan M.Nazaruddin dari partai Demokrat. Hal ini tentu berdampak buruk pada kualitas legislasi, pengawasan dan anggaran yang mereka lakukan di DPR selama ini. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab: yakni sistem perekrutan yang berorientasi pada kekuasaan dan money politik dan rendahnya tingkat pendidikan pemilih. Kedua faktor ini tentu sangat menentukan kualitas para politisi yang akan ambil andil dalam kursi parlemen.
          Indonesia pernah mengalami masa di mana dunia politik nasional didominasi politisi-intelektual sehingga banyak melahirkan negarawan yang berjasa dalam kemajuan negara Indonesia. Kita mengenal Bung Karno dan Bung Hatta sebagai tokoh proklamasi kemerdekaan dengan gaya dan ciri khas kepemimpinan masing-masing. Tidak hanya mereka, orang-orang seperti Muhammad Natsir dengan pemikiran islamnya, Jenderal Soedirman dengan kemampuan militernya, serta tokoh-tokoh nasional lain. Tan Malaka yang dikenal sebagai tokoh pergerakan komunis juga telah memberikan kontribusi bagi perubahan wajah bangsa Indonesia. Mereka dapat dikatakan sebagai negarawan karena mereka telah meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan diri sendiri dengan ciri khas masing-masing.
Saat ini Indonesia merindukan sosok negarawan seperti mereka yang berkarakter yang mampu menjadikan bangsa Indonesia keluar dari keterpurukan. Pemimpin yang berkarakter baik dari pemikiran ataupun pergerakan yang dapat berkontribusi bagi bangsa Indonesia. Sosok seperti itulah yang Indonesia perlukan. Mereka tidak hanya berpikir soal bagaimana political ataupun electical marketing untuk memenangkan pemilu,namun mereka dengan idealismenya terangkat sebagai tokoh bangsa yang memiliki kemampuan untuk menjadikan bangsa Indonesia ini ke arah yang lebih baik lagi.
  eston dalam pendekatan politik dan sistem

Menurut David Easton, sistem politik adalah keseluruhan interaksi yang mengakibatkan terjadinya pembagian yang diharuskan dari nilai-nilai bagi suatu masyarakat . 
Upaya membangun ilmu politik yang sistematis diantaranya dilakukan oleh David Easton. Terdapat 2 tahap menurut David Easton, yaitu :
1.       Easton dalam The Political System (1953)
Dalam The Political System, Easton menyatakan 4 asumsi mengenai perlunya suatu bangunan pemikiran yang bersifat umum dalam mengkaji suatu sistem politik :
a.       Asumsi 1 Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi yang sistematis untuk mensistematisasikan fakta- fakta yang ditemukan.
b.      Asumsi 2 Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
c.        Asumsi 3 Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang muncul akibat pengaruh lingkungan.
d.      Asumsi 4 Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu ketidakseimbangan.
Perbedaan satu sistem politik dengan sistem politik lainnya dapat dipisahkan melalui tiga dimensi:
a.       Polity diambil dari dimensi formal politik, yaitu struktur dari norma, bagaimana prosedur mengatur institusi mana yang semestinya ada dalam politik.
b.      Politic dari dimensi prosedural lebih mengarah pada proses membuat keputusan, mengatasi konflik, dan mewujudkan tujuan dan kepentingan.
c.       Policy sebagai dimensi politik, melihat substansi dan cara pemecahan masalah berikut pemenuhan tugas yang dicapai melalui sistem administrasi, menghasilkan keputusan yang mengikat bagi semua.
Easton juga menggariskan 4 atribut yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem politik :
a.       Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik Di dalam kerangka kerja suatu sistem politik, terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya.
b.      Input-output Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik berupa tuntutan dan dukungan. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.
c.       Diferensiasi dalam sistem Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi kerja. Di masa modern tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam pembuatan undang-undang pemilihan umum di Indonesia, tidak bisa cukup Komisi Pemilihan Umum saja yang merancang kemudian mengesahkan. DPR, KPU, lembaga kepresidenan, partai politik dan masyarakat umum dilibatkan dalam pembuatan undang-undangnya. Meskipun bertujuan sama yaitu memproduksi undang-undang partai politik, lembaga-lembaga tersebut memiliki perbedaan di dalam fungsi pekerjaannya.
d.      Integrasi dalam sistem Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang- undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Partai Politik dan elemen-elemen masyarakat.
Teori Easton berisi pernyataan tentang apa yang membuat sistem politik beradaptasi, bertahan, bereproduksi, dan berubah. Hasil karya pemikiran Easton mengenai model sistem politik dapat ditemukan di tiga volume buku yaitu:
ü  “The Political System” (1964);
ü  “A Framework for Political Analysis” (1965);
ü  yang paling penting adalah “A Systems Analysis of Political Life” (1979).
ü   
2.       David Easton dalam A Framework for Political Analysis (1965)
Dalam tahap ke-2 bangunan teori sistem politik ini, Easton berusaha untuk lebih mendekatkan teorinya dengan dunia empiris. Dalam tahap ini Easton kembali melakukan penegasan atas hal-hal berikut :
a.       Masyarakat terdiri atas seluruh sistem-sistem dan bersifat terbuka.
b.      Sistem politik adalah : Seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial, dimana nilai- nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif.
c.       Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan exstrasocietal. Lingkungan intrasocietal bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak “di luar” batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik berada.
David Easton mengemukakan bahwa bagian-bagian suatu sistem tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan saling berkaitan satu sama lain, dengan kata lain berfungsinya satu bagian tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memperhatikan fungsi-fungsi keseluruhan bagian itu sendiri. Sifat saling katerkaitan secara sistematis menggambarkan bahwa semua kegiatan yang terjadi dapat mempengaruhi tingkah laku dan pelaksanaan keputusan-keputusan otoritatif dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa kehidupan politik merupakan suatu sistem kegiatan.
Adanya anggapan bahwa sistem politik merupakan unit tersendiri, maka hal-hal yang mempengaruhi kerja sistem tersebut adalah berbagai macam input yang nantinya diubah menjadi output dalam suatu rangkaian proses. Outpu-output yang dihasilkan dapat memberikan pengaruh terhadap sistem itu sendiri maupun terhadap klingkungan dimana sstem tersebut berada.
Lebih lanjut Easton menjelaskan bahwa sistem memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain:
1.       Ciri-ciri identifikasi, hal ini merupakan pembeda sistem politik dengan sistem-sistem lainnya.
a.       Unit-unit sistem politik. Unit-unit adalah unsur yang membentuk sistem politik yang berwujud pada tindakan-tindakan politik.
b.      Perbatasan. Suatu sistem selalu berada dalam atau dikelilingi oleh lingkungan yang berupa sistem-sistem lain. Cara berfungsinya sustu sistem sebagian merupakan perwujudan dari upayanya menanggapi keseluruhan lingkungan sosial, biologis, dan fisiknya. Sedangkan yang termasuk dalam suatu sistem politik adalah semua tindakan yang berkaitan dengan pembuatan keputusan-keputusan yang mengikat masyarakat dan setiap tindakan sosial yang tidak mengandung ciri-ciri tersebut dipandang sebagai variabel eksternal di dalam lingkungan sistem tersebut.
2.       Input dan output.
Sistem politik memiliki konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi masyarakat yang berwujud pada keputusan-keputusan otoritatif. Keputusan ini merupakan output dari sistem politik. Di lain sisi, untuk menjamin bekerjanya suatu sistem diperlukan input. Tanpa input sistem tidaka akan dapat berfungsi dan tanpa output tidaka akan dapat mengidentifikasi suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh sistem tersebut.
Sebagian besar perunbahan-perubahan penting dalam suatu sistem politik berasal dari perubahan-perubahan lingkungan eksternalnya. Untuk itu agar suatu sistem dapat bertahan, ia harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa apa yang terjadi dalam suatu sistem merupakan akibat dari upaya angggota-anggotamya untuk menanggapi lingkungan yang selalu berubah.

3.       Diferensiasi dalam suatu sistem.
Dalam suatu struktur sistem politik dikenal diferensiasi minimal karena suatu sistem bekerja menjalankan berbagai macam pekerjaan dalam waktu yang terbatas.
4.       Integrasi dalam suatu sistem
Dengan adanya diferensiasi struktural dalam menangani berbagai macam pekerjaan yang selalu berubah terkadang dapat menimbulkan potensi disintegrasi sistem itu sendiri. Oleh karena itu jika suatu sistem ingin mempertahankan dirinya, sistem tersebut harus memiliki mekanisme yang dapat mengintegrasikan atau memaksa anggota-anggotanya untuk dapat bekerjasama walaupun seminimal mungkin sehingga mereka dapat menghasilkan keputusan-keputusan otoritatif.
Easton juga membagi pokok-pokok input sistem politik dalam dua dua jenis, yaitu:
1.       Tuntutan.
Tuntutan dapat timbul baik dari dalam lingkungan sistem itu sendiri (tuntutan internal) maupun dari luar lingkungan sistem tersebut(tuntutan eksternal). Perbedaan keduanya terletak pada akibat yang ditimbulkannya terhadap sustu sistem politik, apakah langsung atau tidak langsung. Dikenal juga adanya “withinput” yakni tuntutan yang berasal dari dalam sistem politik itu sendiri (dari orang-orang yang berperan dalam politik).
Tidak semua tuntutan dapat berkembang menjadi issue politik. Sedangkan yang dimaksud dengan issue adalah suatu tuntutan yang oleh anggota-anggota masyarakat ditanggapi dan dianggap sebagai hal yang penting untuk dibahas melalui saluran-saluran yang diakui oleh sistem tersebut. Jadi tuntutan dapat dapat menjadi issue jika menimbulkan sejumlah masalah.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perkembangan tuntutan menjadi issue, antara lain; posisi opnion leader dan pendukungnya dalam struktur kekuasaan suatu masyarakat, kerahasiaan atau keterbukaankah yang dipakai dalam mengajukan tuntutan, waktu, pengetahuan berpolitik, pengusaan saluran komunikasi, sikap dan suasana masyarakat, dan gambaran yang dimiliki oleh opinion leader mengenai tuntutan dan cara kerja suatu sistem.
2.       Dukungan
Dukungan merupakan kekuatan dalam bentuk tindakan-tindakan atau pandangan-pandangan yang dapat memajukan atau merintangi bekerjanya suatu sistem politik. Sikap dukungan dapat berwujud tindakan-tindakan yang mendorong pencapaian tujuan, kepentingan, dan tindakan orang lain serta dapat berwujud batiniah dengan pandangan-pandangan maupun pikiran sebagai bentuk kesediaan untuk bertindak demi orang lain.
Sasaran-sasaran politik dalam memperluas dukungan dalam suatu sistem politik meliputi :
a.       Wilayah dukungan, meliputi komunitas, rejim, dan pemerintah.
b.      Kuantitas dan ruang lingkup dukungan. Situasi aktual dalam suatu permasalahan dapat menentukan jumlah dan ruang lingkup yang dibutuhkan oleh dukungan tersebut.
Mekanisme dukungan dapat berupa:
a.       Outpu-output. Output dalam suatu sistem politik berwujud dalam keputusan atau kebiaksanaan politik. Oleh karena itu, salah satu upaya agar ikatan antara pendukung suatu sistem kuat adalah dengan menciptakan keputusna-keputusan yang dapat memenuhi tuntutan dari para anggotanya. Dengan adanya output tertentu yang dihasilkan, dukungan yang akan timbul dapat berupa dukungan positif maupun ngative (ancaman).
b.      Politisasi. Politisasi lebih dimaksudkan pada proses sosialisai politik. Politisasi merupakan cara-cara dimana anggota masyarakat mempelajari pola-pola politik yang memiliki tujuan selaras dengan masyarakat dan dianggap bermanfaat. Proses pembelajaran politisasi bagi individu tidak akan pernah berhenti seiring dengan waktu. Dalam tingkatannya yang paling umum, proses politisasi ini dapat berupa pemberian ganjaran atau hukuman bagi mereka yang tidak mematuhi aturan. Sarana yang dipakai dalam mengkomunikasikan tujuan-tujuan dan norma-norma pada masyrakat cenderung berulang-ulang seperti penanaman mithos, doktrin dan filsafat tertentu, dsb. Oleh karena itu, politisasi secara efektif dapat membentuk suau ukuran legitimasi diciptakan atau dowariskannya antar generasi dalam suatu sistem politik.
Analisa Sistem Politik David Easton
Menurut Easton sebagaimana teori sistem pada umumnya bahwa sistem politik tidak bisa steril dari pangaruh yang menggangu berjalannya sistem politik tersebut, gangguan itu datangnya bisa dari dalam atau dari luar sistem politik. Dalam bukunya Easton menjelaskan bagaimana sebuah sistem politik bisa bertahan atau tidak bisa bertahan, ketika menghadapi pengaruh, gangunan dan tekanan, sehingga keberlangsungan alokasi nilai-nilai otoritatif dari sistem politik dapat terus berjalan atau berhenti sama sekali.
Bagi Easton sumber tekanan yang mempengaruhi berkerjanya sebuah sistem politik tidak harus berupa tekanan-tekanan politik yang besifat dramatis seperti revolusi sosial, perang atau bencana alam, tapi terkadang sumber tekanan tersebut muncul dari kehidupan politik yang terjadi setiap hari yang bekerja secara konstan. Tekanan terhadap sistem politik akhirnya bisa menimbulkan berbagai ketegangan- ketegangan, dari adanya ketegangan yang muncul, sistem politik dituntut harus bisa bertahan dengan cara menyakinkan para anggotanya (masyarakat) untuk tetap terikat terdapat alokasi nilai-nilai otoritatif. Seperti yang sudah diterangkan diatas tentang adanya tekanan yang dapat mempengaruhi bekerjanya sistem politik, Easton menjelaskan bahwa tekanan itu bisa datang dari dua arah, yaitu tekanan yang datang dari dalam dan tekanan yang datang dari luar sistem politik. Tekanan dari dalam ialah tekanan yang muncul dari adanya hubungan-hubungan yang saling kontradiktif antar anggota sistem politik, dengan adanya kontradiksi tersebut otomatis jalanya sistem politik bisa terganggu dan apabila dibiarkan berlarut-larut bisa mengancam stabilitas sistem politik yang sudah berjalan, menurut Easton dalam sistem politik yang sudah mapan, penyelesaian kontradiksi sudah diatur dalam mekanisme menajemen konflik, tapi apabila mekanisme tersebut tidak bisa mencari solusi dari pertentangan yang ada, kekerasan dengan alat pemaksa dari sistem politik tidak bisa dihindarkan, karena menurut Easton sistem politik mempunyai kekuasaan yang legal sebagai alat pemaksa untuk menjaga alokasi nilai otoritatif untuk para anggotanya.
Biasanya di negara-negara otoriter dengan adanya alat pemaksa, dengan pemberian sanksi berupa kekerasan fisik, menjadi alat legalitas untuk menghentikan kontradiksi antara pihak posisi dengan pemerintah di dalam sistem politiknya, mekanisme pendekatan dialogis seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang demokrasinya sudah maju cenderung tidak digunakan, pendekatan dengan kekerasan fisik menjadi pilihan untuk menjaga keberlangsungan sistem politik dinegaranya. Sedangkan tekanan dari luar menurut Easton merupakan pengaruh- pengaruh dari lingkunganya, sistem politik bisa mengalami kejatuhan secara keseluruhan, apabila anggota masyarakat tidak bisa menyelesaikan kemelut yang luar biasa dalam sistem politik.
Menurut Easton pengaruh dari adanya tekanan terhadap sistem politik mengakibatkan sistem politik menjadi terbagi pada dua hal.
1.      Pertama, sistem politik tersebut telah berubah, tapi terus berlangsung dengan wajah yang lain,
2.      Kedua, sistem politik tersebut lenyap sama sekali. Sistem politik telah berubah ialah sistem politik tersebut menunjukan keterlangsungan walupun telah mengalami perubahan, sedangkan yang kedua, sistem politik itu dikatakan lenyap sama sekali, apabila sistem politik tersebut telah hilang sama sekali serta alokasi nilai otoritatif tidak bisa ladi dihasilkan oleh sistem tersebut.
Dengan adanya fenomena berubah dan lenyapnya sistem politik, akibat pengaruh serta tekanan (internal dan eksternal), Easton menyimpulkan bahwa sistem politik tidaklah mungkin dapat menghindari atau mengisolasi dari pengaruh dan tekanan dari dalam serta luar dirinya, walaupun ada beberapa sistem politik dalam jangka waktu tertentu mampu stabil dari berbagai pengaruh dan tekanan, tapi menurutnya dalam tingkat tertentu sistem politik tersebut tidak akan mampu menghindari dari kerusakan-kerusakan akibat perubahan-perubahan internal maupun eksternalnya. Intinya menurut Easton dalam sebuah sistem politik, jika sistem itu ingin terus berlanjut (hidup) maka ia harus bisa berubah dan beradaptasi dengan fluktuasi lingkunganya. Sebuah sistem politik tidak bisa terus berupaya menutup diri dan berusaha meminimalisir kontradiksi didalamnya apalagi jalan dengan kekerasan.
Easton menjelaskan bahwa berbagai pengaruh serta tekanan yang mendekat pada suatu sistem politik baik itu yang berasal dari lingkungan dan di dalam sistem itu sendiri, akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup sistem tersebut, semua perubahan sosial menurutnya terjadi karena adanya faktor internal serta eskternal yang berinteraksi denganya. Tapi yang menarik kemudian apa yang ditulisnya bahwa perubahan dalam sistem tradisional tersebut mampu menyerap tuntutan, tekanan dan pengaruh diluar sistemnya, untuk kemudian sepenuhnya diakomodir ke dalam sistem politiknya, karena menurutnya tahapan dari masyarakat yang menganut nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai yang lebih maju, mengharuskan adanya proses pergantian total nilai-nilai yang dianut. Sehingga tidak jarang sistem kesukuan yang kuno akan terhenti perkembanganya.
 

PANCASILA DAN BERBAGAI DEFINISI

Review Buku Kaelani klik link dibawah ini  https://docs.google.com/document/d/142IaPq55EThm5V0yfzz-dE0drDFMDc2Lfn9UcIib330/edit?usp=sh...